"Vonis Mati Cegah Korupsi"

 


Opini oleh :  Alexius Tantrajaya, SH, M.Hum

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sepanjang periode 2004 hingga 2022 ada sebanyak 176 pejabat daerah kesandung kasus korupsi. Mereka di antaranya adalah 22 gubernur, dan 154 walikota dan bupati. Di rentang waktu yang sama, tercatat pula sebanyak 310 anggota dewan daerah berurusan dengan lembaga anti-rasuah.

Fakta itu menunjukan, betapa mirisnya bangsa ini menghadapi kejahatan korupsi yang tak pernah habis dari satu pemerintahan ke pemerintahan selanjutnya. Dan lebih mencemaskan lagi, dari 85 negara terkorup di dunia,  Indonesia menempati posisi Ke30, sebagai mana data US News.

Seperti diketahui, para pakar hukum menyatakan bahwa kejahatan korupsi diklasifikasikan lebih menyeluruh dan menyebar, jika dibandingkan tindak pidana Narkoba dan terorisme, namun dampaknya jauh lebih luas di dalam aspek kehidupan bernegara. Dan ini merupakan extraordinary crime, atau perilaku yang berbahaya bagi integritas negara dan martabat bangsa.

Lantas, kenapa tindak pidana korupsi tidak pernah habis dari bumi Indonesia, dan kenapa koruptor yang jumlahnya ratusan orang itu tak ada yang dihukum mati? Sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan, tak ubahnya hukuman para bandit jalanan, padahal korupsi adalah kejahatan berat, dan salah satu di dalam ketentuan sanksi pidananya adalah hukuman mati.

Hukuman mati bagi koruptor sudah diatur pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pasal 2 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pada ayat (2) ditegaskan: Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Itu artinya, hukuman mati bagi koruptor mesti diberlakukan di Indonesia. Seperti halnya sanksi yang diberlakukan China, Thailand, Irak, Myanmar, Korea Utara, Maroko, Iran, Laos, Vietnam dan negara lainnya.

Bedanya, di negara yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor, yang dinyatakan bersalah dipastikan dieksekusi. Di Indonesia, tak pernah terdengar kabar koruptor dieksekusi mati. Pada umumnya, sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan berkisar di seputaran Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Belum Serius

Sanksi hukuman ringan bagi koruptor tentu saja tak menimbulkan efek jera bagi pelakunya maupun orang lain yang punya kesempatan melakukan kejahatan tersebut. Inilah sebagai bentuk belum seriusnya penegak hukum dalam menangani kejahatan berat yang satu ini. Ungkapan melawan korupsi, hanya sebatas slogan.

Pertanyaannya, sejarah panjang kejahatan korupsi di negeri ini, apakah sudah ada pelakunya dihukum atau dituntut mati? Jika belum ada, pantas saja kejahatan ini tiap tahun terus meningkat, baik jumlah pelaku maupun penjarahan terhadap uang haram.
Sebenarnya, sejarah mencatat ada pejabat yang dihukum mati lantaran korupsi, yakni mantan Gubernur Bank Indonesia periode 1963-1966, Jusuf Muda Dalam. Pengadilan menghukum pejabat era Orde Lama itu bersalah, menerbitkan kebijakan impor yang berakibat insolvensi internasional, dan memberikan kredit tanpa agunan, sehingga negara dirugikan. Ia dijatuhkan hukuman mati.

Namun, sebelum sempat dieksekusi mati, Jusuf Muda Dalam wafat di dalam sel penjara karena penyakit tetanus pada 26 Agustus 1976.

Yang dituntut hukuman mati oleh jaksa karena kejahatan korupsi, juga ada. Yakni, oknum perwira TNI Kapten Iskandar di era Orde Lama, dan belum lama ini, Heru Hidayat, Presiden Komisaris (Preskom) PT Trada Alam Mineral (TRAM).

Oknum TNI Kapten Iskandar menyalah gunakan jabatan, berupa terima suap dari penjualan kopra senilai Rp. 6 miliar pada 1961. Jaksa menuntutnya hukuman mati, namun oleh Mahkamah Militer Tinggi Jakarta, dia dihukum tujuh tahun penjara.

Sementara Heru Hidayat dituntut hukuman mati lantaran korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI sehingga negara mengalami kerugian sebesar Rp 22,7 triliun, dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Vonis Nihil

Sayangnya, bos PT TRAM itu tak sampai dihukum sesuai tuntutan jaksa, mengingat majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang mengadili kasus korupsi PT ASABRI berpandangan lain. Yakni, bahwa terdakwa Heru Hidayat sebelumnya sudah dihukum seumur hidup dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Oleh karenanya, untuk kasus PT ASABRI dinyatakan tak  ada hukuman alias vonis Nihil.

Heru Hidayat, yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI sehingga negara mengalami kerugian sebesar Rp 22,7 triliun, dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU), tak pantas divonis nihil oleh pengadilan.

Mestinya Heru Hidayat dihukum mati, sebagaimana tuntutan jaksa, sekalipun putusan hukuman seumur hidup pada kasus PT Asuransi Jiwasraya sudah berkekuatan hukum tetap dan pasti (inkrah van gewijsde).

Dalam konteks putusan hukum, memang merupakan keyakinan hakim dalam menilai kasus yang diadili. Namun, untuk kasus yang merugikan negara mencapai puluhan triliun, dimana hukuman yang dijatuhkan nihil, tentu saja melukai rasa keadilan masyarakat luas.

Lebih dari itu, terkait putusan tersebut sepertinya pengadilan tidak konsisten menerapkan hukuman bagi pelaku koruptor yang memenuhi unsur Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Yakni, hukuman mati buat terdakwa korupsi.

Hukuman mati setidaknya dapat membuat aparatur negara berpikir bila ingin melakukan perbuatan korupsi. Contoh paling konkrit penerapan hukuman mati di China, dampaknya negara tirai bambu tersebut kini perekonomiannya berkembang pesat karena tindak pidana korupsi apartur pemerintahannya menurun drastis. Dan generasi mudanya pun membangun negara tanpa hambatan atas ulah para koruptor.

Indonesia ingin bebas korupsi? Ya, harus mencontoh China. Dan yang paling utama adalah, aparat serta para pihak terkait hukum harus direformasi. Tidak bisa tidak. Tapi, pertanyaannya, apakah aparat dan yang lainnya itu punya kemauan melakukan penegakan hukum, agar negeri ini terbebas dari perbuatan rasuah?

No comments

Powered by Blogger.