Advokat Alexius Tantrajaya SH.M.Hum : Saya Banding Atas Putusan Hakim Yang Salah Tafsir.

Teks foto: Advokat Alexius Tantrajaya SH.M.Hum.

Jakarta,BERITA-ONE.COM-Sebagai Penggugat terhadap Presiden dan 9 lembaga negara lainnya , Alexius Tantrajaya SH.MH  mennyatakan banding terhadap putusan majelis hakim yang diketuai M Djunaedi SH.MH karena  menolak gugatannya  di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Selasa, 1 Oktober 2019.

Dikatakan Alexius, dia menggugat dalam kasus ini karena beliau beliu ini (Para Tergugat ? ) tidak peduli adanya pelanggaran yang dilakukuan oleh aparat penegak hukum tentang laporan polisi Ny Maria Magdalena Indriati Hartono yang sudah 10 tahun lebih lamanya  di Mabes Polri  mangkrak/tidak diproses.

"  Saya selaku penegak hukum yang pernah disumpah,  dan beliau beliau itu juga pernah disumpah. Sementara saya melakukan penegakan hukum, tapi beliau beliau ini cuek cuek saja.

" Untuk itulah mereka saya gugat ke pengadilan ini agar dihukum. Tapi ternyata hakim yang menyidangkan perkara ini salah tafsir sehingga gugatan kami  ini dianggap masalah pidana lalau ditolak ", kata Alexius kepada wartawan usai sidang.
Ditambahkan, dalam sidang hakim  membahas   perkara ini tentang  penyebabnya, yaitu  pidana. " Saya juga tahu kalau perkara ini penyebapnya perkara pidana" tegas Alexius dengan nada setengah kesal, seraya menyatakan banding terhadap putusan hakim tersebut.

Sebelumnya majelis hakim dalam putusannya  menolak  gugatan ini karena menilai masalah perkara ini  Pidana.

Seperti diberitakan sebelumnya, Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ini  dilakukan oleh Advokat senior Alexius Tantrajaya tersebut karena  merasa profesinya sebagai Advokat dilecehkan, lalu  mengajukan gugatan ganti rugi sebesar Rp. 1,1 miliar dan harus dibayar  secara tanggung renteng dan tidak boleh dicicil oleh   Pemerintah Indonesia (Presiden) dan 10  lembaga Negara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dan sebagai Tergugat  antara lain  Pemerintah Indonesia (Presiden), Ketua DPR, Ketua KPK, Ketua Kompolnas,  Ketua Komnas HAM, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI, masingasing sebagai tergugat I sampai dengan X.

Alexius mengatakan, gugatan diajukan lantaran batas kesabarannya sudah habis. Sebagai advokat, dia merasa profesinya dilecehkan oleh para tergugat. “Saya menilai, mereka telah mengingkari sumpah dan janji sebagai penegak hukum,” katanya.

Para tergugat, lanjut Alexius, sebagai penegak hukum tidak dapat melaksanakan secara maksimal Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni: “Negara Indonesia adalah negara hukum dan menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan wajib menjunjung hukum dengan tidak ada kecualinya,” Ujarnya.

Dijelaskan, secara perundangan, seharusnya para tergugat memberikan perlindungan hukum kepada kliennya, Ny. Maria Magdalena Andriati Hartono (Maria) dan kedua anaknya.

Tapi nyatanya, hal itu tidak pernah dilakukan. Surat permohonan perlindungan hukum yang diajukan kepada para tergugat, diabaikan selama rentang waktu 10 tahun lebih, tepatnya sejak tahun 2008 silam.

“Baik kepada presiden, kami juga berkirim surat kepada lembaga-lembaga pemerintah tersebut, yang intinya meminta perlindungan hukum terhadap Maria. Jangankan perlindungan, merespon surat kami saja tak pernah dilakukan. Di mana akhirnya, kasus klien kami menggantung.
Padahal batas kadaluarsanya tinggal setahun lebih, di mana laporan pidana Maria akan hangus secara hukum,” papar Alexius.

Sebagai advokat, katanya, dia harus profesional, bertanggung jawab, serta memberikan perlindungan hukum kepada klien. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 4 ayat (2) UU Advokat No. 18 Tahun 2003.

“Tapi sebagai penegak hukum, saya merasa para tergugat telah melecehkan saya selaku advokat, karena telah mengabaikan surat permohonan perlindungan hukum yang saya kirim kepada mereka. 

Dan saya beranggapan, mereka telah melakukan perbuatan melawan hukum. Wajar jika saya menggugat,” ujar Alexius.

Menurut Alexius, kasus Maria menyangkut warisan peninggalan mendiang suaminya, Denianto Wirawardhana, yang akan dikuasai oleh keluarga almarhum.
Padahal yang berhak atas warisan itu adalah dua anak hasil perkawinannya dengan almarhum, serta seorang anak yang bermukim di Jerman, hasil perkawinan Denianto Wirawardhana sebelumnya dengan wanita warga negara Jerman.

“Perkara klien kami mengendap begitu lama. Bayangkan saja, Maria Magdalena melapor pada tahun 2008, hingga 2019 ini polisi belum memproses. Itu artinya, sudah 10 tahun lebih laporan klien kami digantung. Tidak jelas alasannya seperti apa,” ungkapnya.

Ditegaskan, sesuai Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ancaman pidana di atas 3 tahun lebih masa kadaluarsa perkaranya 12 tahun. Berarti tenggang waktu proses hokum kliennya sedikit sekali. Yakni, tersisa setahun ke depan.

“Jika polisi belum juga memproses, berarti laporan klien kami tahun depan sudah hangus. Apakah itu yang diharapkan polisi untuk kasus klien kami? Jika benar, rasa keadilan seorang rakyat bernama Maria Magdalena telah dicabik-cabik. Hak keadilannya telah diperkosa,” tegas Alexius.
Advokat senior ini menyatakan, dalam konteks perkara Maria, polisi bersikap diskriminatif. Hal ini bisa dibuktikan, yakni terkait laporan keluarga almarhum Denianto Wirawardhana terhadap kliennya di Polda Metro Jaya pada 16 Nopember 2007, denganh tuduhan Maria Magdalena menguasai warisan almarhum secara sepihak.

“Dalam waktu singkat, laporan keluarga almarhum diproses Polda Metro Jaya, No.Pol.: LP/4774/K/XI/2007/SPK UNIT “1” tersebut, dan oleh kejaksaan dilimpahkan ke pengadilan. 

Maria dijadikan terdakwa. Tapi Tuhan adil, pengadilan menyatakan Maria Magdalena tidak bersalah. Klien kami bebas dari tuntutan hukum,” jelas Alexius.

Setahun kemudian, lanjut Alexius, pada 8 Agustus 2008 kliennya melaporkan keluarga almarhum suaminya ke Mabes Polri dengan laporan No. Pol: LP/449/VIII/2008/Siaga-III, perihal dugaan keterangan palsu. Mereka yang dilaporkan di antaranya Lim Kwang Yauw, Kustiadi Wirawardhana, Sutjiadi Wirawardhana, Martini Suwandinata dan Ferdhy Suryadi Suwandinata.

Para terlapor itu, jelasnya, pada 11 Januari 2008 diketahui membuat akta keterangan waris pada Notaris Rohana Frieta yang isinya disebutkan, bahwa almarhum Denianto Wirawardhana tidak pernah menikah, tidak pernah mengadopsi anak, dan tidak pernah mengakui anak di luar nikah.

Menurut dia, kliennya menilai keterangan itu palsu. Tidak dapat dibenarkan. Sebab, dari pernikahan dengan almarhum Denianto Wirawardhana, Maria Magdalena melahirkan dua anak, Randy William dan Cindy William. Semuanya tercatat di kartu keluarga, buku lahir dan akta kelahiran. Secara hukum tidak bisa terbantahkan.
“Bahkan, sebelumnya, almarhum pernah menikah dengan wanita Jerman, Gabriela Gerda Elfriede. Punya satu anak, Thomas Wirawardhana. Mereka menetap di Jerman. Sedangkan pernikahan dengan Maria Magdalena dikaruniai dua anak, yaitu Randy William dan Cindy William,” papar Alexius.

Perlu juga diketahui, tambahnya, ketika Thomas Wirawardhana masih kecil, pengadilan Jerman sudah menjatuhkan putusan bahwa almarhum Denianto Wirawardhana harus memberikan biaya hidup anaknya itu.

Jika dikaitkan dengan harta benda peninggalan almarhum, maka secara hukum Thomas berhak sebagai ahli waris.
Dijelaskan, ternyata proses penanganan laporan pidana kliennya itu sangat berliku-liku, terkesan sengaja dibuat mondar-mandir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciderai kewibawaan penegak hukum. 

Yang menyedihkan lagi, keluarga almarhum Denianto Wirawardhana berhasil merampas dua unit Ruko dan uang tunai (tabungan) senilai Rp 9,6 miliar yang disimpan di bank.

“Yang saya sesalkan , sikap diskriminasi polisi terhadap Maria, warga Negara Indonesia yang semestinya mendapat perlindungan hukum, seolah-olah dibiarkan oleh presiden dan lembaga negara lainnya. Padahal kasusnya itu sudah saya jelaskan panjang lebar dalam surat permohonan perlindungan hukum.
"Hasilnya tak ada. 

Wajar jika saya kesal, dan mengajukan gugatan,” pungkas Alexius Tantrajaya SH.M.Hum. (SUR)


No comments

Powered by Blogger.