PP 43 Tahun 2018, Basi, Tidak Mendidik Dan Menyesatkan.
Pengacara senior Hartono Tanuwidjaja SH.MH.MSI |
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Pengacara senior Hartono Tanuwidjaja SH.MH.MSI menilai, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) NO: 43 Tahun 2018 tangal 18 September lalu, yang mengatur peran serta masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi dan akan mendapatkan hadiah uang Rp 200 juta, murupakan hal yang basi, tidak mendidik dan menyesatkan. Dan kalau ini dibilang idenya pemeritah Joko Widodo (Jokowi) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), adalah omong kosong.
Sebab, menurutnya, 18 tahun lalu tepatnya 21 Agustus 2000, atau sebelum adanya Undang Undang KPK, Presiden Adulrahman Wahid alias Gusdur, telah menerbitkan PP serupa, yaitu PP NO: 71 Tahun 200, tanggal 21 Agustus. Dalam PP ini antara lain mengatur, akan memberikan perlindungan hukum, akan memberikan piagam dan atau premi bagi orang yang melaporkan masalah korupsi.
" Dan PP semacam itu kini terbit lagi, yaitu Tapi PP NO: 43 Tahun 2018 ini, mengiming-imingi masyarakat yang melaporkan adanya tindak pidana kurupsi akan diberi hadiah uang Rp 200 juta.
Sekarang tentang iming-iming hadiah Rp 200 juta itu , perlu dipertanyakan kembali", kata Hartono Tanuwidjaja SH.MH.MSI.
Sebab, masih kata Hartono, niat seseorang melaporkan adanya sebuah tindak pidana korupsi itu bukan karena mengejar hadiah, tapi sebagai warga negara yang baik, jiwa raganyapun akan diberikan untuk memberantas terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Tapi kalau orang melapor kasus korupsi semata-mata hanya untuk mengejar hadiah Rp 200 juta, lebih baik tak usah lapor saja, karena yang akan dilaporkan itu mau memberikan uang tutup mulut lebih besar, 2 milyar, misalnya. Jadi, iming-iming hadiah Rp 200 juta ini adalah prosesi yang salah.
Kalau ingin membentuk Pemerintahan yang bersih, dan bebas dari unsur Korupsi, Kolosi dan Nepotisme (KKN), tidak perlu menjajikan hadiah semacam itu. Masih banyak masyarakat yang rela mengorban jiwa dan raga guna memberantas terjadinya tindak pidana korupsi.
Kemudian Hartono Tanuwidjaja SH.MH.MSI menceritakan pengalamannya tentang melaporkan sebuah kasus korupsi ke KPK, tapi klienya malah diancam dan digugat kepengadilan dan di hukum. KPK yang semula akan memeberikan Perlindungan Hukum, hanya omong kosong belaka.
Dikisahkan, pada tahun 2004, Hartono Tanuwidjaja selaku kuasa hukum Ir Helly Weror MSI melaporkan Bupatati Nabire, Papua, Drs. Aselmus Petrus Youw ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan korupsi.
Namun berbuntut panjang, karena kliennya Ir. Helly Weror MSI malah mendapatkan intimindasi secara fisik dan diperiksa oleh Polisi setempat. Dan kami minta perlidungan hukum ke KPK dengan suat Ref NO: 31 tanggal 17 Maret 2014. Sayangnya, KPK yang kami minta untuk melindungi secara hukum, tidak ada gunanya, klien kami tetap mendapatkan intimindasi,
Selain itu, dia bersama klienya malah digugat untuk membayar ganti rugi Rp 1 triliun lebih, karena dinilai telah mencemarkan nama baik Terlapor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Anehnya, hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebagian, dan menghukum Tergugat untuk minta maaf kepada Penggugat dengan cara memasang iklan permintaan maaf di 10 harian nasional.
"Ini kan aneh, masak ada hakim pro koruptor. Selanjutnya saya banding. Ditingkat banding saya yang menang. Ketika akan kasasi, berkasnya hilang. Inikan lebih aneh lagi", kataHartono Tanuwidjaja menambahkan.
"Saat gugatan berjalan, saya lapor ke KPK dengan surat NO: 005 /APH/2004 tanggal 17 September perihal permohonan petunjuk/pengarahan menyangkut gugatan perdata dari Bupati Nabire. Jawaban dari KPK mengecewakan, karena malah menganjurkan kepada kami untuk dikonsultasikan dengan asosiasi Advokat, dimana saya bergabung. Jadi tidak ada gunanya dengan laporan permohonan perlindungan hukum kami ke KPK, karena tidak ada yang membela", tambahnya.
Dengan iming-iming imbalan Rp 200 juta, seperti yang disebut dalam PP 43 itu, apakah orang akan menjadi Bangga? Saya rasa kebanggaan itu bukan dari situ. Tapi kasus korupsi yang dilaporkannya itu memenuhi tujuan akhir pelapor, yaitu pelaku korupsinya dipidana. Dengan demikian PP 43 Tahun 2018 dengan iming-iming hadiah Rp 200 juta tersebut sudah basi, tidak mendidik dan menyesatkan", kata Hartono Tanuwidjaja SH.MH.MSI diakhir pendaptnya. (SUR).
Sebab, menurutnya, 18 tahun lalu tepatnya 21 Agustus 2000, atau sebelum adanya Undang Undang KPK, Presiden Adulrahman Wahid alias Gusdur, telah menerbitkan PP serupa, yaitu PP NO: 71 Tahun 200, tanggal 21 Agustus. Dalam PP ini antara lain mengatur, akan memberikan perlindungan hukum, akan memberikan piagam dan atau premi bagi orang yang melaporkan masalah korupsi.
" Dan PP semacam itu kini terbit lagi, yaitu Tapi PP NO: 43 Tahun 2018 ini, mengiming-imingi masyarakat yang melaporkan adanya tindak pidana kurupsi akan diberi hadiah uang Rp 200 juta.
Sekarang tentang iming-iming hadiah Rp 200 juta itu , perlu dipertanyakan kembali", kata Hartono Tanuwidjaja SH.MH.MSI.
Sebab, masih kata Hartono, niat seseorang melaporkan adanya sebuah tindak pidana korupsi itu bukan karena mengejar hadiah, tapi sebagai warga negara yang baik, jiwa raganyapun akan diberikan untuk memberantas terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Tapi kalau orang melapor kasus korupsi semata-mata hanya untuk mengejar hadiah Rp 200 juta, lebih baik tak usah lapor saja, karena yang akan dilaporkan itu mau memberikan uang tutup mulut lebih besar, 2 milyar, misalnya. Jadi, iming-iming hadiah Rp 200 juta ini adalah prosesi yang salah.
Kalau ingin membentuk Pemerintahan yang bersih, dan bebas dari unsur Korupsi, Kolosi dan Nepotisme (KKN), tidak perlu menjajikan hadiah semacam itu. Masih banyak masyarakat yang rela mengorban jiwa dan raga guna memberantas terjadinya tindak pidana korupsi.
Kemudian Hartono Tanuwidjaja SH.MH.MSI menceritakan pengalamannya tentang melaporkan sebuah kasus korupsi ke KPK, tapi klienya malah diancam dan digugat kepengadilan dan di hukum. KPK yang semula akan memeberikan Perlindungan Hukum, hanya omong kosong belaka.
Dikisahkan, pada tahun 2004, Hartono Tanuwidjaja selaku kuasa hukum Ir Helly Weror MSI melaporkan Bupatati Nabire, Papua, Drs. Aselmus Petrus Youw ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan korupsi.
Namun berbuntut panjang, karena kliennya Ir. Helly Weror MSI malah mendapatkan intimindasi secara fisik dan diperiksa oleh Polisi setempat. Dan kami minta perlidungan hukum ke KPK dengan suat Ref NO: 31 tanggal 17 Maret 2014. Sayangnya, KPK yang kami minta untuk melindungi secara hukum, tidak ada gunanya, klien kami tetap mendapatkan intimindasi,
Selain itu, dia bersama klienya malah digugat untuk membayar ganti rugi Rp 1 triliun lebih, karena dinilai telah mencemarkan nama baik Terlapor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Anehnya, hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebagian, dan menghukum Tergugat untuk minta maaf kepada Penggugat dengan cara memasang iklan permintaan maaf di 10 harian nasional.
"Ini kan aneh, masak ada hakim pro koruptor. Selanjutnya saya banding. Ditingkat banding saya yang menang. Ketika akan kasasi, berkasnya hilang. Inikan lebih aneh lagi", kataHartono Tanuwidjaja menambahkan.
"Saat gugatan berjalan, saya lapor ke KPK dengan surat NO: 005 /APH/2004 tanggal 17 September perihal permohonan petunjuk/pengarahan menyangkut gugatan perdata dari Bupati Nabire. Jawaban dari KPK mengecewakan, karena malah menganjurkan kepada kami untuk dikonsultasikan dengan asosiasi Advokat, dimana saya bergabung. Jadi tidak ada gunanya dengan laporan permohonan perlindungan hukum kami ke KPK, karena tidak ada yang membela", tambahnya.
Dengan iming-iming imbalan Rp 200 juta, seperti yang disebut dalam PP 43 itu, apakah orang akan menjadi Bangga? Saya rasa kebanggaan itu bukan dari situ. Tapi kasus korupsi yang dilaporkannya itu memenuhi tujuan akhir pelapor, yaitu pelaku korupsinya dipidana. Dengan demikian PP 43 Tahun 2018 dengan iming-iming hadiah Rp 200 juta tersebut sudah basi, tidak mendidik dan menyesatkan", kata Hartono Tanuwidjaja SH.MH.MSI diakhir pendaptnya. (SUR).
No comments