Hartono Tanuwidjaja SH,MH,MSI : Indonesia Bukan Negara Hukum, Tapi Negara Dagang Hukum. Sekarang Harus Dirubah Sistem Hukumnya.

Hartono Tanuwidjaja SH,MH,MSI.
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Pengacra senior Hatono Tanuwidjaja SH, MH, MSI berpendapat;  bahwa  Sistem Hukum negara Indonesia harus dirubah.  Dari Sistem Hukum Eropa Konstinental dirubah menjadi Sistem Hukum Anglo Saxson. Karena Sistem Hukum Anglo Saxson lebih baik kalau diterapkan di Indonesia. Apa salahnya kalau kita coba, sebab Sistem Politik dan Ekonomi sudah sering berubah, katanya.    Berikut wawancara lengkapnya.

Seperti kita ketahui, dalam kontek menyejahterakan rakyat, di Negara  Indonesia ini ada istilah yang disebut  Trisula, yaitu  Polotik, Akonomi dan Hukum. Dalam bidang Poitik Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan. Waktu itu, ketika baru merdeka,  kita menggunakan UUD'45 sebagai  Dasar Negara   Republik Indonesia.

Empat  tahun kemudian,  berubah memjadi negara Republik  Indonesia Serikat (RIS),  tahun 1949. Tujuh tahun kemudian yaitu tahun 1956,  kembali ke UUD'45.

Dan dibidang Ekonomi pun,  Indonesia  sudah melakukan perubahan, dari Ekonomi Kerakyatan, Ekonomi Gotong Royong dan  Ekonomi Pancasila.
Sebagai contoh; Pada pemerintahan lama, masalah bongkar muat barang di pelabuhan Tanjung Priok ( Dwelling Time),  sebuah kapal yang akan bongkar barangn,  memakan  waktu tunggu antara 1 sampai 3 bulan , baru bisa bongkan. Tapi dimasa pemerintahan Joko Widodo( Jokowi ) hanya butuh waktu 3 hari. Suatu perubahan yang sangat luar biasa,  atau sangat  darastis.

" Dibidang Hukum Indonesia sisebut Negara Hukum, tapi faktanya, dalam praktek melenceng, menjadi Negara Dagang Hukum", kata Hartono Tanuwidjaja SH,MH,MSI.

Karena, realita dalam masyarakat, masih kata Hartono Tanuwidjaja,  di Polisi orang lapor kehilangan ayam, tapi malah jadi kehilangan kambing atau sapi. Kemudian orang mau gugat pihak lain kepengadilan biayanya  murah,    hanya  sekitar Rp 1 juta saja sudah bisa daftarkan  gugatan ke pengadilan untuk menggugat  pihak lain yang nilainya Rp 100 juta, Rp 10 milyar bahkan sampai  triliunan  rupiah.

Tapi kalau sudah mulai proses persidangan,  akan ketemu istulah HAKIM. Yang artinya " Hubungi Aku Kalau Ingin  Menang". Ini terjadi di Pengadilan. Maksudnya, disini ada proses Ekonomi, tapi dilakukan atau tidak terserah para pihak. Tapi   yang pasti, semuanya pihak  ingin menang.

Begitu juga di Kejaksaan, sama. Jaksa yang seharusnya sebagai pihak  negara yang mewakili korban, malah dagang hukum. Dari P-18, P-19,  P-21 sampai besar kecilmya tuntutan, juga diperdagangkan.

Semuanya ini realita yang menurunkan wibawa hukum di Indonesia. Orang luar negeri tahu bahwa orang orang Indonesia bisa disuap atau disogok. Ada beberapa kasus yang teruangkap untuk menbuktikan masalah ini.

Kalau kita bicara hukum di Indonesia sekarang, pasti korup dan terjadi suap. Walaupun buka perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disetiap ibu kota Propinsi, tetap saja begitu, karena Sistem Hukumnya Korup.

"Kontek yang kita bicarakan inikan sudah 426 tahun Hukum Warisan Belanda berlaku di Indonesia. Dan Rancangan Undang Undang  Kitap Undang Undang Hukum Pidana ( RUU-KUHP)  sudah beulangkali diolah untuk diganti. Tapi mengolahnya seperi mengolah dodol, sodok sana-sini,  kanan kiri dan maju mundur. Tidak pernah jadi tuh, refisi KUHP. Padahal masalah ini pernah dilakukan mulai jamannya Prof. Muladi, Prof Andy Hamsah, Sahetapi dan lainya.

Dengan sistem hukum kita  seperti sekarang ini, ( cenderung korup), lalu timbul pertanyaan, " Mengapa kita yang selama ini menggunakan Sistem Hukum Eropa Konstinental (Belanda) tidak mencoba mengganti dengan sistem hukum Anglo Saxon,  yang selama ini digunakan Inggris dan negara negara Persemakmuran ( Commonwealth of Nation)  serta (AS) Amerika Serikat?

" Kita kan boleh mencoba. Kenapa tidak mencoba? Politik dan Ekonomi saja  sistemnya boleh dirubah. Masak Sistim Hukum Indonesia tidak boleh berubah. Dan,   kalau sudah dirubah namun tidak cocok, ya kembali lagi ke Sistem Hukum yang lama, kan tidak apa-apa. Tapi kita musti coba" kata Hartono Tanuwidjaja SH,MH ,MSI, dengan  tegas.

Ditambahkan, untuk merubah Sistem Hukum kita yang korup ini apakah harus menunggu 500 tahun atau 1000 tahun lagi? Kalau begini terus tidak ada habis-habisnya, tiap hari ada berita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK.

Kita lihat tentang kesadaran hukum masayarakat kita. Dalam berlalu lintas, semua marka jalan akan dilewati, dulu-duluan. Entah duluan sampai, ketabrak, atau duluan mati. Semua inginya duluan.

Sebagai perbamdingan. Di Bangkok, Thailand, kabel listriknya paling semrawut, kayaknya orang disana  tidak bisa mengaturnya. Tapi, begitu lampu lalu- lintas menyala merah, semua berhenti. Jangankan manusia, semut pun tidak ada yang jalan. Orang-orangnya bisa tertip.

Begitu juga di Singapura, di jalan Tol, mobil berjalan tidak boleh melebihi 90 km/jam. Lebih dari itu ditilang, dan surat tilangnya langsung dikirim kerumah. Tapi kalau di Indonesia, surat tilang dikirim kerumah, silahkan. Kan,  tempat   tinggalnya tidak sama dengan alamat rumah.

Jadi semuanya itu karena Sistem Hukum kita belum berubah. Belum dipikirkan atau belum ada keberamian untuk mencoba berubah dari Sistem Hukum Eropa Konstinentak ke Sistem Hukum Angglo Saxon. Yok , kita coba untuk berubah. Sistem Politik dan Sistem Ekonomi  saja boleh berubah. Kalau tidak cocok, ya kembali lagi ke sistem hukum yang lama, kan boleh. Tapi kan, pernah coba untuk berobah.

Banyak contoh,  dibidang agama misalnya,  orang mau kawin,  yang semula beragama Islam atau Kristen berganti agama. Yang semuala  beragama Islam masuk ke agama Krieten atau sebaliknya. Sebagai contoh, ada seorang artis A beragama Kristen, akan menikah dengan laki-laki B beragama  Buda. Dan jadi menikah setelah salah satunya  berganti agama.

Di negara Brunai Darusalam, negara ini bekas jajahan Inggris, tapi Sultan Brunai menerapkan sistem Hukum dinegeri ini dengan sistem Hukum Islam, tidak menggunakan sistem Hukum Anglo Saxon. Nyatanya bagus juga.

Di Aceh, setiap orang yang beragama Islam  merupakan subyek hukum Islam, dasarnya  ( Qanun Jinayat) / Perda Syariah Islam yang memberlakukan hukum Islam  tersebut. Tapi orang yang  beragama Islam yang melanggar. Contoh,  dengan ditangkapnya Gubernur Aceh  Irwandi Yusuf oleh KPK seperti  sekarang ini, apakah dia mau kalau tangannya dipotong? Pasti tidak mau.

Sekarang masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, melaui teferendum atau surfai, maukah menggunakan hukum Islam sebagai penggantinya?  Dengan demikian harus mau juga  konskwensinya.  Kalau mencuri, potong tangannya. Apakah ada yang mau? Pasti tidak ada yang mau.

Kita ini dijajah Belanda 350 tahun, dibegok-begoin. Di Belanda tidak ada suap menyuap,  atur-atur vonis,  jam kerja karet,  dan lainya. Dan di Singapura, tidak ada orang yang foto-foto di pengadilan, dilarang. Tapi di Indonesia, nenek, kakek, dan cucu serta lainnya boleh datang ke pengadilan untuk menyaksikan saudaranya yang sedang diadili. Seolah bangga. Inilah masalah yang harus kita rubah.

Oleh karena itu, mental yang perlu dirubah.  Dan  saya senang ketika pemerintahan Jokowi membentuk departemen baru, Menko Pembangunan mental dan budaya untuk memulihkan mental dan budaya bangsa Indonesia. Sebagai contoh; Australia, dulu tempat pembuangan penjahat/marapidana  dari Inggris. Sekarang, keadaan disana tertip.

Jadi sekali lagi, mental orang Indonesia yang perlu diperbaiki atau dirubah, tapi realisasinya yang susah. Program pembangunan Revolosi Mental,  tak jelas. Tapi mengapa, mereka yang ada di DPR tak berani merubah setem hukum kita? Padahal Sistem Hukum kita yang harus dirubah, lalu mentalnya.
Misalnya, orang korupsi dihukum 10 tahun penjara, paling paling nantinya mati didalam penjara. Tapi tidak ada recovernya. Hukum kita hanya untuk memghukum, melaksanakan balas dendam. Padahal dampak dari korupsi itu luas, dana besar  yang dikorup itu bisa digunakan untuk pembangunan apa saja.

Kenapa orang orang di negeri lain itu kok bisa tertip. Di kita hukum boleh dilanggar, meminum minuman keras boleh, merokok  disembarang tembat boleh. Padahal sudah ada  Perda yang melarangnya. Kan, jadi susah kalau semuanya serba boleh dilanggar.

Kita semua mau maju, tapi mental kita masih terbelakang. Sebenarnya kita harus melihat sistem hukum adat kita, di Palembang, Madura dan Makasar,  misalnya. Disana mereka mengikuti hukum adat warisan  leluhurnya untuk mempertahankan kehormatan yang berkaitan dengan harga diri, karena harga diri merupakan  hal yang nomor satu. Tapi dihukum nasional kita tidak ada yang seperti itu, tidak ada yang bisa kita banggakan.

Prinsip prinsip hukum adat tersebut diatas sebenarnya bisa kita pertahanakan. Kenapa kita tidak mempertahankan pronsip prinsip itu, padahal bagus. Apa lagi yang harus kita rubah? Untuk merubah diri kita sendiri saja susah. Misalnya dari miskin menjadi kaya, dari kaya menjadi lebih kaya lagi.

Hartono Tanuwidjaja  menabahkan, Politik , Ekonomi boleh berupah, tapi kuhum kita tidak berubah-rubah walau sudah 426 tahun. Masalahnya kita  tidak berani  merubah Sistim Hukum kita. Apakan ada orang lain yang  kepentingan dibalik sistem Hukum yang korup ini. Kita tidak tahu.

Kalau kita bandingkan dengan sistem kukum di Singapura, orang mengajukan gugatan, akan ditanya sudah siap atau belum, dan isinya bisa dipertanggung atau tidak. Kalau tidak bisa dipertanggung jawabkan,bisa masuk penjara.  Kalau sudah lengkap dan mekenuhi tententuan,  hakimnya ditentukan, 3 orang, termasuk semua biayanya, dideposit. Orang tidak bisa bermain main dengan hukum. Tapi di Indonesia tidak, sudah tujuh  kuasapun masih bisa diganti.

Jadi hukum kita ini tidak dihargai. Hukum kita kalau dilihat dari luar bagus, Rechtsstaat ( negara hukum),  faktanya Negara Dagang Hukum, yang dijual keadilan. ini harus dirubah, seperti orang lain yang telah bisa berubah.

Diakhir wawancaranya Hartono Tanuwidjaja SH,MH,MSI menegaskan, sudah waktunya  Sistem Hukum dan mental kita dirubah.  Dari Sistem Hukum Eropa Konstinental menjadi Sistem Hukum  Anglo Saxon yang selama ini digunakan oleh negara negara persemakmuran dan  Amerika Serikat, katanya. (SUR).

No comments

Powered by Blogger.