DR Gelira Tarigan SH, MH: Seharus Setya Novanto Langsung Menyatakan Banding Saat Itu, Tidak Perlu PikirPikir.
DR. Gelora Tarigan SH,MH. |
JAKARTA,BERITA-ONE.COM-Mantan Ketua DPR-RI Setya Novanto (Setnov) yang divonis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta selama 15 tahun penjara, seharusnya menyatakan banding pada saat itu juga setelah vonis hakim dijatuhkan , tidak perlu pikir-pikir, dan kalau perlu langsung menyatakan grasi kepada Presiden Repubik Indonesia . Sebab, hukuman yang dijatuhkan majelis hakim kepadanya merupakan hukuman maksimal," kata DR. Gelora Tarigan SH, seorang akademisi kepada wartawan saat dimintai komentarnya, di Jakarta, Kamis 26 /04/2018.
Akan tetapi, mengapa Setnov menyatakan pikir-pikir terhadap putusan hakim tersebut. Seharusnya langsung menyatakan banding saja pada saat itu juga. Apa lagi, 15 tahun penjara ini merupakan hukuman yang tertinggi dari hakim. Harusmya banding pada saat itu juga tanpa buang-buang waktu.
Masih kata pria asaI Tanah Karo Sumatra Utara tersebut, " Sayangnya terdakwa menyatakan pikir-pikir, tidak lasung menyatakan banding. Jadi, rasionya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan terdakwa Setnov yang selama ini mengatakan dirinya tidak bersalah dan minta dibebaskan , serta selalu membantah tidak pernah menerima uang suap dari proyek E-KTP seperti yang disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) " tegasnya.
Kecuali, jika memang tidak banding, sebaiknya terdakwa memerima putusan hakim, dan langsung grasi . Minta pengapunan kepada Presiden Republik Indonesia agar hukumannya dikurangi . Namun grasi mekanismenya banyak, dan prosesnya terlalu lama. Misalnya, permohonnannya diajukan dahulu melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan sebelum diputus grasinya, Presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA) dan Kementrian Hukum dan HAM terlebih dahulu.
" Saya yakin, namun bukan bermaksut untuk mendahului, permohonan grasinya 99 % akan ditolak Presiden. Karena kasus yang didakwakan oleh JPU terhadap Setnov ini merupakan tindak pidana korupsi, yang merupakan musuh pemerintah, sebab sangat merugikan masyarakat. Apa lagi sekarang ini pemerintah sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi , kata dosen Hukum Pidana Universitas 17 Agustus (UNTAG)1945 tersebut.
Seperti diberitakan, Setnov dijatuhi hukuman selama 15 tahun penjara potong tahanan oleh Prngadilan Tipikor Jakarta , 24 April 2018 lalu. Selain itu mantan Ketum Partai Golkar tersebut dihukum bayar denda Rp 500 juta subsidet 3 bulan kurungan dan diwajibkan membayar uang penggati US$ 7,3 juta dikurangi Rp 5 milyar yang telah diserahkan kepada KPK. Dan juga, terdakwa dicabut hak politiknya selama 5 tahun setelah usai manjalani humuman.
Menurut hakim dalam pertimbangan hukumnya , terdakwa Setnov terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana kurupsi bersama-sama yang merugikan nehara Rp 2,3 triliun dalam proyek E-KTP dengan anggaran Rp 5,9 triliun. Dan pada saat itu, terdakwa Setnov tidak langsung banding, atau menerima putusan, melainkan pikir-pikir dulu.
Sebelumnya JPU menuntut terdakwa agar hakim menjatuhkan hukuman selama 16 tahun penjara Denda Rp 1 milyar subsider 6 bulan kurungan, uang pengganti US$ 7,3 juta dikurangi Rp 5 milyar yang telah diserahkan ke KPK sebelumnya.(SUR).
Akan tetapi, mengapa Setnov menyatakan pikir-pikir terhadap putusan hakim tersebut. Seharusnya langsung menyatakan banding saja pada saat itu juga. Apa lagi, 15 tahun penjara ini merupakan hukuman yang tertinggi dari hakim. Harusmya banding pada saat itu juga tanpa buang-buang waktu.
Masih kata pria asaI Tanah Karo Sumatra Utara tersebut, " Sayangnya terdakwa menyatakan pikir-pikir, tidak lasung menyatakan banding. Jadi, rasionya tidak sesuai dengan apa yang dikatakan terdakwa Setnov yang selama ini mengatakan dirinya tidak bersalah dan minta dibebaskan , serta selalu membantah tidak pernah menerima uang suap dari proyek E-KTP seperti yang disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) " tegasnya.
Kecuali, jika memang tidak banding, sebaiknya terdakwa memerima putusan hakim, dan langsung grasi . Minta pengapunan kepada Presiden Republik Indonesia agar hukumannya dikurangi . Namun grasi mekanismenya banyak, dan prosesnya terlalu lama. Misalnya, permohonnannya diajukan dahulu melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan sebelum diputus grasinya, Presiden harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA) dan Kementrian Hukum dan HAM terlebih dahulu.
" Saya yakin, namun bukan bermaksut untuk mendahului, permohonan grasinya 99 % akan ditolak Presiden. Karena kasus yang didakwakan oleh JPU terhadap Setnov ini merupakan tindak pidana korupsi, yang merupakan musuh pemerintah, sebab sangat merugikan masyarakat. Apa lagi sekarang ini pemerintah sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi , kata dosen Hukum Pidana Universitas 17 Agustus (UNTAG)1945 tersebut.
Seperti diberitakan, Setnov dijatuhi hukuman selama 15 tahun penjara potong tahanan oleh Prngadilan Tipikor Jakarta , 24 April 2018 lalu. Selain itu mantan Ketum Partai Golkar tersebut dihukum bayar denda Rp 500 juta subsidet 3 bulan kurungan dan diwajibkan membayar uang penggati US$ 7,3 juta dikurangi Rp 5 milyar yang telah diserahkan kepada KPK. Dan juga, terdakwa dicabut hak politiknya selama 5 tahun setelah usai manjalani humuman.
Menurut hakim dalam pertimbangan hukumnya , terdakwa Setnov terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana kurupsi bersama-sama yang merugikan nehara Rp 2,3 triliun dalam proyek E-KTP dengan anggaran Rp 5,9 triliun. Dan pada saat itu, terdakwa Setnov tidak langsung banding, atau menerima putusan, melainkan pikir-pikir dulu.
Sebelumnya JPU menuntut terdakwa agar hakim menjatuhkan hukuman selama 16 tahun penjara Denda Rp 1 milyar subsider 6 bulan kurungan, uang pengganti US$ 7,3 juta dikurangi Rp 5 milyar yang telah diserahkan ke KPK sebelumnya.(SUR).
No comments