Pengacara : Pengadilan Tipikor Jakarta Tidak Berwenang Mengadili Gubernur Sultra Drs. H. Nur Alam SE.M.SI.

Didi Supriyanto SH.M.Hum
Jakarta, BERITA-ONE.COM-Majelis hakim  yang diketuai Diah Siti Basariah SH,  dimohon untuk  membebaskan terdakwa Gubernur Sulawesi Tenggara  Drs. Nur Alam SE.M.SI dari rumah tahanan KPK di Pomdam Jaya,  Guntur, Jakarta. Hal ini disampaikan oleh Tim kuasa hukum terdakwa  di Pengadilan Tipikor Jakarta, 27 November 2017.

Tim kuasa hukum terdakwa yang terdiri dari Didi Supriyanto SH.M.Hum, DR. Maqdir Ismail SH, DR Martin Pongrekun SH dan lainnya,  juga meminta agar Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang mengdili perkara ini secara absolut ataupun relatif, memerintahkan agar  Penuntut Umum untuk mengembalikan seluruh  barang yang disita dan mencabut seluruh pemblokiran terhadap aset terdakwa atau pihak lain yang berkaitan dengan perkara ini.

Selain itu, masih kata penasehat hukum terdakwa,  majelis juga diminta untuk menyatakan batal dan atau  tidak dapat diterima terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum NO. DAK-74/24/11/2027 tanggal 10 November 2017 . Dan selanjtnya hakim diminta  memulihkan hak, harkat dan martabat terdakwa Drs. H. Nur Alam SE.M.SI , serta membebankan biaya perkara kepada negara.

Adapun alasan alasan yang menjadikan  dasar adalah; penasehat hukum dalam eksepsinya antara lain  mengatakan, tentang keberatannya mengenai kewenangan mengadili ( Kompetisi Absolut ),   karena Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili perkara terdakwa Nur Alam berdasarkan dakwaan a quo karena, berdasarkan Pasal 14 UU NO: 31/1999 yang telah diubah menjadi UU NO: 2001, adalah perkara dibidang pertambangan sebagaimana diatur dalam pasal 165 UU NO: 4/2009.

Bahwa uraian dakwaan Jaksa Penuntut Umum  (JPU) baik dalam dakwan pertama maupun kedua  tentang adanya pelanggaran terhadap UU NO: 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan  Batubara,  dan  UU NO: 41 tahun  2009 tentang  Kehutanan. Dengan demikian,  apabila terdapat pelanggaran pidana pada ketentuan  tersebut (quadnon) maka sesuai yang  tertuang pada  pasal 149 UU NO: 4 tahun 2009 tentang pertambangan Mineral dan  Batubara dan  pasal 77 UU NO: 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,  telah menentukan bahwa Penyidik yang berkompeten untuk melakukan penyidikan adalah Penyidik dari Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang penuntutannya dilakukan dalam suatu Pengadilan Tindak Pidana Umum, dan bukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Oleh karena itu,  demi tertipnya hukum Serta kepastian serta  perlindungan  hukum bagi terdakwa, maka kami tim penasehat hukum terdakwa mohon kepada majelis hakim kiranya berkenan untuk mengatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi  pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak berwenang mengadili perkara ini. Dan yang berwenang mengadili perkara ini adalah Pengadilan Negeri Kendari, sesuai  pasal 84 KUHAP.

Dakwaan JPU tidak jelas/kabur,  dapat dilihat dari adanya perbedaan nilai dugaan kerugian negara seberat Rp 4 triliun lebih atau setidaknya 1,5 triliun lebih, dimana  perbedaan tersebut sangatlah signifikan. Dan kerugian  itu disebabkan musnahnya  atau berkurangnya ekologis/lingkungan pada lokasi pertambangan di Pulau Kabeana Kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Temggara,  yang dikelola PT. AHB. Sebagaimana laporan,  perhitungan kerugian akibat karusakan tanah dan lingkungan oleh ahli karusakan lingkungan hidup,  DR.Ir. Basuki Wasit M.Si sebesar Rp 2,7 triliun lebih, dan audit  BPKP NO. SR-911/D5/01/2017 tanggal 23 Oktober 2017 serta memperkaya PT. Billy Indonesia Rp 1 5 triliun lebih, sehingga total kelurahannya menjadi Rp 4 triliun lebih.

Dengan  berdasarkan hal tersebut diatas,  JPU memaksakan diri,  ragu-ragu karena tidak dapat memastikan mau pakai perhitungan yang  mana, perhitungan DR. Ir. Basuki atau  dari BPKP.  Jika kerugian negara memakai dasar perhitungan karusakan lingkungan, bukan domain kerugian negara,  sebagaimana dimaksut dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU NO: 31 tahun 1999, karena kerugian didalam tindak pidana korupsi bersumber dari APBN, APBD atau penyertaan modal pada BUMN/BUMD atau PNBP. Sedangkan kerugian pada karusakan lingkungan penyidikannya oleh Polri atau PPNS. Dengan demikian sudah selayaknya hakim menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum (van rachtswage nietig).

Dan masih banyak lagi kelemahan dari surat dakwaan JPU terhadap  H. Nur Alam ini, kata tim penasehat hukum yang tertuang dalam eksepsi ini.

Seperti diberitakan sebelumnya Gubernur Sulawesi Tenggara H. Nur  Alam Didakwa melakukan  tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 4 triliun lebih, atau setidak-tidaknya Rp 1,5 triliun lebih.

Dan perbuatan itu menurut  JPU dilakukan terdakwa pada tahun 2009 sampai dengan 2013  bersama-sama  dengan saksi Burhanudin, saksi Widdi Aswindi (Dirut PT BILYET Indonesia bertempat di kantor Gubernur Sulawesi Tenggara dan di Muara karang Jakarta Utara, telah melakukan atau turut melakukan perbuatan yang bersifat  melawan hukum.

Perbuatan tersebut karena terdakwa Nur Alam telah memberikan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT. Anugerah Harisma Barakah  (PT. AHB) di pulau Kabeana dan kabupaten Buton dan Bombana  Sulawesi Tenggara, telah menjadikan  tempat tersebut ekosistimnya rusak, dan menimbulkan kerugian negara seperti yang telah tersebut diatas.

Sidang ini oleh majelis hakim ditunda satu minggu untuk memberikan waktu kepada JPU menjawab eksepsi dari Pengacara terdakwa tersebut. (SUR).

No comments

Powered by Blogger.