Gubernur Sultra, Nur Alam Didakwa Merugikan Negara Rp 4,3 Triliun Lebih.
Terdakwa Nur Alam. |
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
mulai menyidangkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam yang merugikan negara Rp 4,3 triliun lebih. Kata Jaksa, perbuatan terdakwa telah melanggar UU NO. 20 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU NO. 31 tahun 2001 tentang Tipikor di Pengadilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 20 November 2017.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai DR. Diah Siti Basariah SH tersebut, Jaksa dalam dakwaannya mengatakan perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah mperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Dijelaskan, terdakwa memperkaya diri sendiri karena mendapatkan Rp 2,7 milyar lebih, menguntungkan korporasi yaitu PT. Billy Indonesia Rp Rp 1,5 triliun lebih, dan dapat rugikan negara Rp 4,3 triliun lebih, atau setidak-tidaknya Rp 1,5 triliun lebih.
Dan perbuatan tersebut masih kata Jaksa, dilakukan dengan cara sebagai berikut, pada sekitar tahun 2009 terdakwa Nur Alam meminta pada Ikhsan Rifani untuk dicarikan perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan. Dan PT. Anugerah Harisma Barakah (PT. AHB) yang dimaksut . Dan terdakwa memgarahkan agar Ikhsan menyerahkan dekumen PT. AHB kepada Widdi Aswindi di kantor perwakilan Sultra di Jaakarta. Widdi merupakan konsultan pemenangan Nur Alam saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Sultra.
Setelah itu Ikhsan mengadakan pertemuan dengan Burhanudin, Kabid Pertambangan umum pada Dinas SDM Prov Sultra. Mulai dari sinilah Burhanuddin mengeluarkan surat perihal Permohonan IUP Eksplorasi kepada Ikhsan dengan maksud agar ditandatangani oleh Dirut PT. AHB, M.Yasin Setiawan Putra. Hal ini terjadi tanggal 9 Juli 2009.
. .
Draft surat yang dibuat Baharuddin dan Kamrullah ( Kasi Bahan Galian Mineral Dinas ESDM Prov Sultra tersebut dibuat dengan tanggal mundur, yaitu 28 November 2008, yang isinya memohon pencadangan wilayah pertambangan seluas 3.024 HA kepada terdakwa selaku Gubernur, yang lokasinya berada pada Iokasi yang sama dengan lokasi kontrak karya PT. Internasional Nikel Indonesia Tbk (PT. Inco) di Pulau Kabeana, dimana di wayah tersebut merupakan Hutan lingkungan dan Hutan produksi .
Singkat cerita, setelah PT. AHB operasi dan menjual Nikelnya, pada Oktober 2010 terdakwa melalui Ridho Insana mibeli tanah dan membeli rumah seharga Rp 1,7 milyar dari PT Primer. Dan kegiatan perorangan yang dilakukan PT. AHB dan PT. Billy Indonesia telah mengeluarkan biaya terkait produksi sebesar Rp 89 milyar lebih.
Kata Jaksa, perbuatan terdakwa bersama-sama dengan saksi Burhanuddin, dan Widdi Aswindi, yang telah memberikan persetujuan wilayah UIP Eksplorasi dan UIP operasi produksi kepada PT. AHB seolah-olah sesuai prosedur, padahal semuanya bertentangan dengan peraturan yang berlaku, dan mengakibatkan kerugian negara dengan musnahnya/berkurangnya ekologis/lingkungan di Pulau Kabeana di KabupatƩn Buton, Sultra oleh PT. AHB sebesar Rp 2,7 triliun lebih.
Selain itu terdakwa dan Burhanuddin serta Widdi juga telah menimbulkan kerugian bagi negara sebesar Rp 1.5 triliun lebih. Sehingga total kerugian negara sebesar Rp Rp 4,3 triliun lebih. Perbuatan terdakwa melanggar UU korupsi seperti yang disebut pada awal tulisan ini.
Persidangan kasus ini ditunda satu pekan untuk memberikan kesempatan kepada terdakwa ataupun penasehat hukumnya guna melakukan eksepsi.
Selama dalam persidangan terdakwa di didampingi sejumlah pengacara handal yang antara lain Didik Supriyanto SH dan Maqdir Ismail SH dan lainnya. (SUR).
mulai menyidangkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam yang merugikan negara Rp 4,3 triliun lebih. Kata Jaksa, perbuatan terdakwa telah melanggar UU NO. 20 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU NO. 31 tahun 2001 tentang Tipikor di Pengadilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 20 November 2017.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai DR. Diah Siti Basariah SH tersebut, Jaksa dalam dakwaannya mengatakan perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah mperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Dijelaskan, terdakwa memperkaya diri sendiri karena mendapatkan Rp 2,7 milyar lebih, menguntungkan korporasi yaitu PT. Billy Indonesia Rp Rp 1,5 triliun lebih, dan dapat rugikan negara Rp 4,3 triliun lebih, atau setidak-tidaknya Rp 1,5 triliun lebih.
Dan perbuatan tersebut masih kata Jaksa, dilakukan dengan cara sebagai berikut, pada sekitar tahun 2009 terdakwa Nur Alam meminta pada Ikhsan Rifani untuk dicarikan perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan. Dan PT. Anugerah Harisma Barakah (PT. AHB) yang dimaksut . Dan terdakwa memgarahkan agar Ikhsan menyerahkan dekumen PT. AHB kepada Widdi Aswindi di kantor perwakilan Sultra di Jaakarta. Widdi merupakan konsultan pemenangan Nur Alam saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Sultra.
Setelah itu Ikhsan mengadakan pertemuan dengan Burhanudin, Kabid Pertambangan umum pada Dinas SDM Prov Sultra. Mulai dari sinilah Burhanuddin mengeluarkan surat perihal Permohonan IUP Eksplorasi kepada Ikhsan dengan maksud agar ditandatangani oleh Dirut PT. AHB, M.Yasin Setiawan Putra. Hal ini terjadi tanggal 9 Juli 2009.
. .
Draft surat yang dibuat Baharuddin dan Kamrullah ( Kasi Bahan Galian Mineral Dinas ESDM Prov Sultra tersebut dibuat dengan tanggal mundur, yaitu 28 November 2008, yang isinya memohon pencadangan wilayah pertambangan seluas 3.024 HA kepada terdakwa selaku Gubernur, yang lokasinya berada pada Iokasi yang sama dengan lokasi kontrak karya PT. Internasional Nikel Indonesia Tbk (PT. Inco) di Pulau Kabeana, dimana di wayah tersebut merupakan Hutan lingkungan dan Hutan produksi .
Singkat cerita, setelah PT. AHB operasi dan menjual Nikelnya, pada Oktober 2010 terdakwa melalui Ridho Insana mibeli tanah dan membeli rumah seharga Rp 1,7 milyar dari PT Primer. Dan kegiatan perorangan yang dilakukan PT. AHB dan PT. Billy Indonesia telah mengeluarkan biaya terkait produksi sebesar Rp 89 milyar lebih.
Kata Jaksa, perbuatan terdakwa bersama-sama dengan saksi Burhanuddin, dan Widdi Aswindi, yang telah memberikan persetujuan wilayah UIP Eksplorasi dan UIP operasi produksi kepada PT. AHB seolah-olah sesuai prosedur, padahal semuanya bertentangan dengan peraturan yang berlaku, dan mengakibatkan kerugian negara dengan musnahnya/berkurangnya ekologis/lingkungan di Pulau Kabeana di KabupatƩn Buton, Sultra oleh PT. AHB sebesar Rp 2,7 triliun lebih.
Selain itu terdakwa dan Burhanuddin serta Widdi juga telah menimbulkan kerugian bagi negara sebesar Rp 1.5 triliun lebih. Sehingga total kerugian negara sebesar Rp Rp 4,3 triliun lebih. Perbuatan terdakwa melanggar UU korupsi seperti yang disebut pada awal tulisan ini.
Persidangan kasus ini ditunda satu pekan untuk memberikan kesempatan kepada terdakwa ataupun penasehat hukumnya guna melakukan eksepsi.
Selama dalam persidangan terdakwa di didampingi sejumlah pengacara handal yang antara lain Didik Supriyanto SH dan Maqdir Ismail SH dan lainnya. (SUR).
No comments