Kompolnas Membenarkan Terima Surat Dari Pengacara Iming.
JAKARTA,BERITA-ONE.COM-Komisi Kepolisian Nasional RI (Kompolnas RI) menjelaskan , pihaknya memang telah menerima surat dari Pengacara Iming M Tesalonika SH MM MCL NO: 107/LRT-TNP/IX/17 Tertanggal 12 September 2017. Dan surat tersebut telah diteruskan ke Polda Metro Jaya. Namun demikian hingga sekarang , Polda Metro Jaya belum membalas surat tersebut, kata Dedy Firdaus kepada BERITA-ONE.COM beberapa hari lalu.
Diketahui, sebelumnyapun pengacara senior Iming juga telah mengirim surat kepada Kompolnas dengan NO: 092/LRT-TNP/VIII/17 tangga 22 Agustus 2017 perihal Permohonan Transparansi Penanganan Perkara Pidana. Dan suratnya itu telah mendapatkan respon yang baik, karena Kompolnas telah menyurati Polda Metro Jaya tanggal 31 Agustus 2017.
Namun demikuan, Iming rupanya kecewa lantaran surat suratnya yang ditujukan kepada Kapolda Metro Jaya, dan Kabid Humas Polda Metro Jaya, perbandingan terbaik dengan surat Kompolnas.
Katanya, surat-suratnya tersebut malah dijadikan bahan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Polda Metro Jaya NO: S.Tap /430/VIII/2017/Ditreskrimum (SP-3) tanggal 28 Agustus 2017 terhadap laporan Polisi NO: LP/2166/VI/2014/PMJ/Dit Reskrimum tanggal 11 Juni 2014 dimana Iming sebagai pelapor dan Hartono Tanuwidjaja serta Miko Suharianto sebagai terlapor.
Dalam surat tersebut Iming mengatakan, dengan diterbitkannya SP-3 itu, Ditreskrimum Polda Metro Jaya selaku penyidik enggan/anti dikritik kinerjanya, padahal banyak hal yang belum dilakukan untuk membuat terang perkara ini.
Dalam keluhanya itu Iming juga menceritakan tentang kejanggalan-kejanggalan penanganan perkara yang dilaporkannya pada 2014 tersebut yang antara lain dikatakan; Laporan yang ia lakukan terjadi 3 tahun lalu, tanggal 11 Juni 2014. Tapi laporan tersebut baru di buatkannya SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) NO: B/2017/VIII/3017/Ditreskrimum tanggal 24 Agustus 2017 , yang kemudian penyidik Polda Metro Jaya menerbitkan Surat Ketetapan Polda Metro Jaya NO: S. Tap/430/VIII/2017 Ditreskrimum (SP-3) tanggal tanggal 28 Agustus.
Hal seperti tersebut diatas kata Iming, merupakan kejanggalan yang masif dalam proses penanganan perkara. " Bagaimana bisa laporan polisi yang saya buat 3 tahun lalau dihentikan setelah saya mengirimkan dua buah surat NO: 092/TPN/VIII/17 tangal 21 Agustus kepada Polda Metro Jaya dan surat NO: 90/LTR-TPN/VIII/17 tanggal 21 Agustus kepada Kabid Humas Polda Metro Jaya. Bagaimana mungkin jarak terbitnya antara SPDP dan surat perkara a quo hanya berjalan 4 hari saja. Sehingga menjadi pertanyaan kami, apa saja yang telah dilakukan Penyidik Polda Metro Jaya selama 4 hari dalam penanganan perkara a quo? ", tanya Iming dalam suratnya.
Menurutnya, masih banyak saksi saksi yang belum diperiksa oleh penyidik yang mengerti jelas permasalahan Akta Otentik isinya disadari tidak benar (Akta Sesat ). Saksi tersebut adalah jajaran pemegang saham dan Direksi serta Komisaris PT. Sentra Mahakarya Integritas yang diantaranya Robert Korompis,Oey Budiahandoko dan T. Sukasman.
Dalam SP-3 yang diterbitkan oleh Polda Metro Jaya tanggal 28 Agustus tersebut dalam keputusan penetapannya mengatakan, dihentikan nya penyidikan karena tidak cukup bukti. Bagaimana mungkin bisa cukup bukti kalau Polda Metro Jaya tidak melakukan pemeriksaan kepada saksi-saksi yang mengetahui jelas permasalahan Akta Otentik yang isinya disadari tidak benar.
Saya menduga, kata Iming, SP-3 tanggal 28 Agustus 2017 tersebut merupakan bentuk diskresi penyidik Polda Metro Jaya adalah diskresi yang sudah dikonversi menjadi rupiah, mengingat selama ini banyak diskresi-diskresi yang dibuat penyidik telah dikonversi menjadi rupiah.
Dalam suratnya itu Iming juga bercerita kalau dirinya mendapatkan saran dari penyidik untuk membuat laporan baru dengan pasal 264 KUHP, tidak lagi menggunakan pasal 266 (2) KUHP. Selain itu Iming juga mengatakan, ungkapannya yang mengatakan SP-3 perkara a quo yang merupakan bentuk diskresi yang sudah dikonversi menjadi rupiah bukanlah tidak mendasar, karena penerapan pasal 266 KUHP targetnya adalah orang yang menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu Akta Otentik (Akta Sesat ) (ayat 1) dan orang yang dengan sengaja memakai Akta Sesat tersebut yang merugikan bagi orang lain (ayat 2).
Dalam hal tersebut terlihat jelas bahwa ada oknum penyidik Polda Metro Jaya tertentu (secara tidak kelihatan dan diam-diam ) berusaha melepaskan terlapor Hartono Tanuwidjaja (Advokat Senior) dari jerat hukum karena Advokat Senior itu telah nyata-nyata dengan sengaja memakai Akta Sesat tersebut di Pengadilan yang mengakibatkan kerugikan bagi saya pelapor, dan sekaligus pelecehkan lembaga peradilan, kata Iming.
Tentang masukan/arahan Polda Metro Jaya kepada saya (Iming) membuat laporan kepolisian yang baru dengan membuat ancaman pidana pasal 264 KUHP, menunjukan kepada saya agar Penyidik Polda Metro Jaya tidak berbenturan dengan (sekaligus melindungi/mengistimewakan) terlapor Hartono Tanuwidjaja yang dikenal banyak memiliki relasi dengan pejabat tinggi Polri yang sudah banyak memberikan budi baik kepada penjabat-pejabat Polri , seperti yang saya katakan diskresi Penyidik yang dikonversi menjadi rupiah.
Disamping itu, masukan/arahan penyidik Polda Metro Jaya agar sayat membuat laporan kepolisian baru dengan menggunakan ancaman pidana pasal 264 KUHP, menunjukkan kepada saya juga adalah bentuk meredam kegeraman saya yang sudah dirugikan atas perkara a quo, justru dengan cara mengorbankan satu pelapor, Miko Suharianto saja yang harus bertanggung jawab dihadapan hukum, karena penerapan pasal 264 KUHP hanya menyasar pada orang yang yang membuat Akta palsu, bukan pada pengguna Akta palsu tersebut.
Dengan demikian jelaslah, lembaga Polri telah dipakai atau ditunggangi oleh oknum pejabat Polri tertentu untuk menciptakan ketidak adilan, mengurangi kewibawaan Polri yang susah panah dibangun oleh sebagian besar pejabat Polri sendiri, dan secara nyata telah menyetarakan dan mencampuradukan lembaga penyidikan kehakiman, dimana penyidik telah menjadi hakim secara rangkap, berhak menghentikan perkara dengan bukti cukup, yang seharusnya menjadi kewenangan mandiri dari kekuasaan kehakiman untuk menilainya, Iming menambahkan.
Masih kata Iming, tujuan dari surat ini dilandasi oleh niat luhur untuk memberikan rujukan/advice kepada Kompolnas dalam tugasnya membantu Presiden NKRI dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan meningkatkan kewibawaan institusi Polri
Dan juga untuk membantu Kompolnas dalam menjalankan tugas dan Kewenangannya dalam memberikan saran dan pertimbangan kepada Presuden NKRI untuk mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri. Secara tulus, kata Iming, adalah untuk membantu Kompolnas menentukan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam membantu regulasi Internal Polri yang bermutu guna memgindentifikasi diskresi-diskresi apa yang masih dimiliki penyidik saat ini yang sering dan menjadi dasar mempersulit proses penegakan hukum yang Efektif , akuntabel dan transparan.
Demikian antara lain Surat dari Iming yang dikirimkan kepada Kompolnas RI tanggal 12 September 2017 tersebut yang tembumsannya disampaikan kepada Kepala Staf Keprisedenan RI, Teten Masduki. (SUR).
Diketahui, sebelumnyapun pengacara senior Iming juga telah mengirim surat kepada Kompolnas dengan NO: 092/LRT-TNP/VIII/17 tangga 22 Agustus 2017 perihal Permohonan Transparansi Penanganan Perkara Pidana. Dan suratnya itu telah mendapatkan respon yang baik, karena Kompolnas telah menyurati Polda Metro Jaya tanggal 31 Agustus 2017.
Namun demikuan, Iming rupanya kecewa lantaran surat suratnya yang ditujukan kepada Kapolda Metro Jaya, dan Kabid Humas Polda Metro Jaya, perbandingan terbaik dengan surat Kompolnas.
Katanya, surat-suratnya tersebut malah dijadikan bahan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Polda Metro Jaya NO: S.Tap /430/VIII/2017/Ditreskrimum (SP-3) tanggal 28 Agustus 2017 terhadap laporan Polisi NO: LP/2166/VI/2014/PMJ/Dit Reskrimum tanggal 11 Juni 2014 dimana Iming sebagai pelapor dan Hartono Tanuwidjaja serta Miko Suharianto sebagai terlapor.
Dalam surat tersebut Iming mengatakan, dengan diterbitkannya SP-3 itu, Ditreskrimum Polda Metro Jaya selaku penyidik enggan/anti dikritik kinerjanya, padahal banyak hal yang belum dilakukan untuk membuat terang perkara ini.
Dalam keluhanya itu Iming juga menceritakan tentang kejanggalan-kejanggalan penanganan perkara yang dilaporkannya pada 2014 tersebut yang antara lain dikatakan; Laporan yang ia lakukan terjadi 3 tahun lalu, tanggal 11 Juni 2014. Tapi laporan tersebut baru di buatkannya SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) NO: B/2017/VIII/3017/Ditreskrimum tanggal 24 Agustus 2017 , yang kemudian penyidik Polda Metro Jaya menerbitkan Surat Ketetapan Polda Metro Jaya NO: S. Tap/430/VIII/2017 Ditreskrimum (SP-3) tanggal tanggal 28 Agustus.
Hal seperti tersebut diatas kata Iming, merupakan kejanggalan yang masif dalam proses penanganan perkara. " Bagaimana bisa laporan polisi yang saya buat 3 tahun lalau dihentikan setelah saya mengirimkan dua buah surat NO: 092/TPN/VIII/17 tangal 21 Agustus kepada Polda Metro Jaya dan surat NO: 90/LTR-TPN/VIII/17 tanggal 21 Agustus kepada Kabid Humas Polda Metro Jaya. Bagaimana mungkin jarak terbitnya antara SPDP dan surat perkara a quo hanya berjalan 4 hari saja. Sehingga menjadi pertanyaan kami, apa saja yang telah dilakukan Penyidik Polda Metro Jaya selama 4 hari dalam penanganan perkara a quo? ", tanya Iming dalam suratnya.
Menurutnya, masih banyak saksi saksi yang belum diperiksa oleh penyidik yang mengerti jelas permasalahan Akta Otentik isinya disadari tidak benar (Akta Sesat ). Saksi tersebut adalah jajaran pemegang saham dan Direksi serta Komisaris PT. Sentra Mahakarya Integritas yang diantaranya Robert Korompis,Oey Budiahandoko dan T. Sukasman.
Dalam SP-3 yang diterbitkan oleh Polda Metro Jaya tanggal 28 Agustus tersebut dalam keputusan penetapannya mengatakan, dihentikan nya penyidikan karena tidak cukup bukti. Bagaimana mungkin bisa cukup bukti kalau Polda Metro Jaya tidak melakukan pemeriksaan kepada saksi-saksi yang mengetahui jelas permasalahan Akta Otentik yang isinya disadari tidak benar.
Saya menduga, kata Iming, SP-3 tanggal 28 Agustus 2017 tersebut merupakan bentuk diskresi penyidik Polda Metro Jaya adalah diskresi yang sudah dikonversi menjadi rupiah, mengingat selama ini banyak diskresi-diskresi yang dibuat penyidik telah dikonversi menjadi rupiah.
Dalam suratnya itu Iming juga bercerita kalau dirinya mendapatkan saran dari penyidik untuk membuat laporan baru dengan pasal 264 KUHP, tidak lagi menggunakan pasal 266 (2) KUHP. Selain itu Iming juga mengatakan, ungkapannya yang mengatakan SP-3 perkara a quo yang merupakan bentuk diskresi yang sudah dikonversi menjadi rupiah bukanlah tidak mendasar, karena penerapan pasal 266 KUHP targetnya adalah orang yang menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu Akta Otentik (Akta Sesat ) (ayat 1) dan orang yang dengan sengaja memakai Akta Sesat tersebut yang merugikan bagi orang lain (ayat 2).
Dalam hal tersebut terlihat jelas bahwa ada oknum penyidik Polda Metro Jaya tertentu (secara tidak kelihatan dan diam-diam ) berusaha melepaskan terlapor Hartono Tanuwidjaja (Advokat Senior) dari jerat hukum karena Advokat Senior itu telah nyata-nyata dengan sengaja memakai Akta Sesat tersebut di Pengadilan yang mengakibatkan kerugikan bagi saya pelapor, dan sekaligus pelecehkan lembaga peradilan, kata Iming.
Tentang masukan/arahan Polda Metro Jaya kepada saya (Iming) membuat laporan kepolisian yang baru dengan membuat ancaman pidana pasal 264 KUHP, menunjukan kepada saya agar Penyidik Polda Metro Jaya tidak berbenturan dengan (sekaligus melindungi/mengistimewakan) terlapor Hartono Tanuwidjaja yang dikenal banyak memiliki relasi dengan pejabat tinggi Polri yang sudah banyak memberikan budi baik kepada penjabat-pejabat Polri , seperti yang saya katakan diskresi Penyidik yang dikonversi menjadi rupiah.
Disamping itu, masukan/arahan penyidik Polda Metro Jaya agar sayat membuat laporan kepolisian baru dengan menggunakan ancaman pidana pasal 264 KUHP, menunjukkan kepada saya juga adalah bentuk meredam kegeraman saya yang sudah dirugikan atas perkara a quo, justru dengan cara mengorbankan satu pelapor, Miko Suharianto saja yang harus bertanggung jawab dihadapan hukum, karena penerapan pasal 264 KUHP hanya menyasar pada orang yang yang membuat Akta palsu, bukan pada pengguna Akta palsu tersebut.
Dengan demikian jelaslah, lembaga Polri telah dipakai atau ditunggangi oleh oknum pejabat Polri tertentu untuk menciptakan ketidak adilan, mengurangi kewibawaan Polri yang susah panah dibangun oleh sebagian besar pejabat Polri sendiri, dan secara nyata telah menyetarakan dan mencampuradukan lembaga penyidikan kehakiman, dimana penyidik telah menjadi hakim secara rangkap, berhak menghentikan perkara dengan bukti cukup, yang seharusnya menjadi kewenangan mandiri dari kekuasaan kehakiman untuk menilainya, Iming menambahkan.
Masih kata Iming, tujuan dari surat ini dilandasi oleh niat luhur untuk memberikan rujukan/advice kepada Kompolnas dalam tugasnya membantu Presiden NKRI dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan meningkatkan kewibawaan institusi Polri
Dan juga untuk membantu Kompolnas dalam menjalankan tugas dan Kewenangannya dalam memberikan saran dan pertimbangan kepada Presuden NKRI untuk mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri. Secara tulus, kata Iming, adalah untuk membantu Kompolnas menentukan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam membantu regulasi Internal Polri yang bermutu guna memgindentifikasi diskresi-diskresi apa yang masih dimiliki penyidik saat ini yang sering dan menjadi dasar mempersulit proses penegakan hukum yang Efektif , akuntabel dan transparan.
Demikian antara lain Surat dari Iming yang dikirimkan kepada Kompolnas RI tanggal 12 September 2017 tersebut yang tembumsannya disampaikan kepada Kepala Staf Keprisedenan RI, Teten Masduki. (SUR).
No comments