Proses Pengadaan Helikopter AW 101 Sudah Sesuai Prosedur.
Jakarta,BERITA-ONE.COM. Dalam kasus dugaan korupsi Helikopter AW 101 dengan nilai proyek pengadaan senilai Rp 738 miliar, diperkirakan terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp 220 miliar akibat adanya penyimpangan. Terkait persoalan tersebut, Anggota Komisi I DPR RI Supiadin Aries Saputra menyatakan bahwa dalam kasus Helikopter AW 101, prosedur pengadaannya sudah benar, hanya saja terjadi masalah selisih harga.
“Kalau prosedurnya tidak benar tidak akan mungkin ada disini pesawat itu. Kalau saya baca keterangan dari Danpuspom dan Panglima TNI, disitu terjadi selisih harga. Hal itulah yang menjadi masalah,” ucap Supiadin dalam acara Forum Legislasi di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/08/2017).
Ia menegaskan bahwa kasus korupsi yang terjadi tersebut diluar sepengetahuan Komisi I DPR. Menurutnya, bila terjadi pelanggaran seperti itu, maka permasalahan tersebut seharusnya dikembalikan kepada Menhan sebagai pihak yang memberikan persetujuan.
“Pengadaan alutsista itu tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan. Pengadaan alutsista melalui sebuah sistem, usulannya selalu dari tingkat bawah berdasarkan usulan user. Dalam proses itu Komisi I DPR tidak pernah ikut campur,” tandasnya.
Komisi I DPR RI hanya tahu usulan anggaran dari TNI ataupun Departemen Pertahanan tentang kebutuhan sejumlah alutsista, lanjutnya. Pihak Dephan dan Kepala Staf Angkatan terkait yang melakukan kontrak kerja dengan para kontraktor.
“Untuk mengetahuinya, Komisi I DPR membentuk Panja Alutsista, yang tugasnya antara lain untuk melakukan pengecekan dilapangan alutsista yang sudah dibeli. Dari situlah kita akan menemukan temuan-temuan, yang kemudian dikembalikan lagi kepada pemerintah melalui rapat kerja dengan Menhan, panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan,” jelas Supiadin.
“Kita tidak tahu harganya berapa, akan dibeli dinegara mana, dan segala macamnya. TNI dan Dephan yang mengatur itu. Dephan merupakan penentu kebijakan dibidang pertahanan, namun usulan-usulan tetap datangnya dari bawah. Ada yang pembeliannya melalui kredit ekspor atau langsung dari APBN, tergantung berapa besarnya harga,” tambahnya.
Supiadin menyampaikan, Panja Alutsista Komisi I DPR biasanya akan meninjau ke pabriknya. Panja juga ingin mengetahui apakah pembelian dengan dana yang ada itu mampu membeli sebuah senjata dengan sistem yang lengkap.
Parlementaria menyebutkan, menyangkut kasus-kasus dilapangan, hal itu diluar sepengetahuan dari Komisi I DPR. Seperti pada kasus helikopter AW, setelah terjadi barulah kita telusuri, dimana letak kesalahannya hingga sampai terjadi kasus seperti ini. Saya berharap persoalan ini tidak membawa efek kepada disintegrasi TNI,” pungkasnya. (SUR).
“Kalau prosedurnya tidak benar tidak akan mungkin ada disini pesawat itu. Kalau saya baca keterangan dari Danpuspom dan Panglima TNI, disitu terjadi selisih harga. Hal itulah yang menjadi masalah,” ucap Supiadin dalam acara Forum Legislasi di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/08/2017).
Ia menegaskan bahwa kasus korupsi yang terjadi tersebut diluar sepengetahuan Komisi I DPR. Menurutnya, bila terjadi pelanggaran seperti itu, maka permasalahan tersebut seharusnya dikembalikan kepada Menhan sebagai pihak yang memberikan persetujuan.
“Pengadaan alutsista itu tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan. Pengadaan alutsista melalui sebuah sistem, usulannya selalu dari tingkat bawah berdasarkan usulan user. Dalam proses itu Komisi I DPR tidak pernah ikut campur,” tandasnya.
Komisi I DPR RI hanya tahu usulan anggaran dari TNI ataupun Departemen Pertahanan tentang kebutuhan sejumlah alutsista, lanjutnya. Pihak Dephan dan Kepala Staf Angkatan terkait yang melakukan kontrak kerja dengan para kontraktor.
“Untuk mengetahuinya, Komisi I DPR membentuk Panja Alutsista, yang tugasnya antara lain untuk melakukan pengecekan dilapangan alutsista yang sudah dibeli. Dari situlah kita akan menemukan temuan-temuan, yang kemudian dikembalikan lagi kepada pemerintah melalui rapat kerja dengan Menhan, panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan,” jelas Supiadin.
“Kita tidak tahu harganya berapa, akan dibeli dinegara mana, dan segala macamnya. TNI dan Dephan yang mengatur itu. Dephan merupakan penentu kebijakan dibidang pertahanan, namun usulan-usulan tetap datangnya dari bawah. Ada yang pembeliannya melalui kredit ekspor atau langsung dari APBN, tergantung berapa besarnya harga,” tambahnya.
Supiadin menyampaikan, Panja Alutsista Komisi I DPR biasanya akan meninjau ke pabriknya. Panja juga ingin mengetahui apakah pembelian dengan dana yang ada itu mampu membeli sebuah senjata dengan sistem yang lengkap.
Parlementaria menyebutkan, menyangkut kasus-kasus dilapangan, hal itu diluar sepengetahuan dari Komisi I DPR. Seperti pada kasus helikopter AW, setelah terjadi barulah kita telusuri, dimana letak kesalahannya hingga sampai terjadi kasus seperti ini. Saya berharap persoalan ini tidak membawa efek kepada disintegrasi TNI,” pungkasnya. (SUR).
No comments