Pemerintah Harus Evaluasi Seluruh Penerapan Hukuman Mati Di Indonesia.
JAKARTA BERITA-ONE.COM. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), selaku kuasa hukum mantan terpidana mati Yusman Telaumbanua mendesak Pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia.
Kami meyakini bahwa masih banyak terpidana mati lainnya yang saat ini tengah menghadapi ancaman hukuman mati akibat adanya rekayasa kasus atau proses peradilan yang tidak adil (unfair trial) sejak di tingkat penyidikan.
Salah satu terpidana mati yang pernah menghadapi proses unfair trial adalah Yusman Telaumbanua. Pada 2013 lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nias memutus Yusman Telaumbanua dan kakak iparnya, Rasula Hia dengan pidana mati terkait kasus pembunuhan berencana terhadap 3 orang yang terjadi setahun sebelumnya. Yusman dipaksa mendandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanpa mengetahui isinya, disiksa oleh penyidik hingga tidak diberi bantuan penerjemah bahasa Nias meski yang bersangkutan saat itu belum bisa berbicara dan menulis bahasa Indonesia.
Status Yusman sebagai remaja putus sekolah yang tidak memiliki identitas atau dokumen hukum apapun yang menunjukkan usianya yang masih dibawah umur saat itu, dijadikan kesempatan oleh penyidik untuk mengubah identitasnya menjadi usia dewasa sehingga hak-haknya sebagai terdakwa anak banyak dilanggar. Proses pembuktian di persidangan pun dinilai sangat lemah karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya mampu menghadirkan saksi – saksi yang tidak berada di lokasi kejadian dan tidak mengetahui pasti peristiwa (Testimonium De Auditu).
Fakta – fakta mengenai rekayasa kasus terhadap Yusman dan kakak iparnya baru diketahui oleh KontraS pada akhir tahun 2014 ketika Tim KontraS bertemu dengan Yusman di Lapas Batu Nusakambangan, Cilacap. KontraS juga telah mempublikasikan dugaan adanya rekayasa kasus yang dialami Yusman Telaumbanua pada 2015 setelah KontraS resmi menjadi kuasa hukum yang bersangkutan. (Lihat Siaran Pers KontraS 16 Maret 2015, “Rekayasa Kasus yang Berujung pada Vonis Hukuman Mati terhadap Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia”, http://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2013)
Tepat di momentum hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72, Yusman Telaumbanua akhirnya bebas setelah menjalani pidana penjara selama 5 (lima) tahun lamanya. Pembebasan ini terjadi pasca Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang membatalkan vonis mati PN Gunungsitoli sebelumnya terhadap Yusman pada Januari 2017 ini. Adanya bukti baru (novum) yang diajukan KontraS terkait usia pasti Yusman Telaumbanua yang diperoleh melalui pemeriksaan forensik gigi besar kemungkinan menjadi salah satu bukti kuat yang meloloskan Yusman dari ancaman pidana mati.
Dari keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan Peninjauan Kembali dengan Nomor Perkara 8/PID/B/2013/PN-GST, diketahui bahwa hasil pemeriksaan tulang dan gigi Yusman Telaumbanua yang diuji oleh Tim Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung membuktikan bahwa usia Yusman Telaumbanua pada saat dilakukan pemeriksaan forensik pada tahun 2016 berkisar 18 – 19 tahun, sehingga jika ditarik mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada tahun 2012, maka usia Yusman saat itu antara 15 – 16 tahun.
Pembatalan vonis hukuman mati oleh Mahkamah Agung menjadi vonis 5 tahun penjara terhadap Yusman Telaumbanua, menguatkan fakta bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan akan adanya kekeliruan atau kesalahan yang dapat berakibat fatal, terlebih bagi mereka yang dituntut dan divonis hukuman mati. Prinsip kehati-hatian seringkali dilanggar dalam setiap tahapan proses hukum hanya demi menunjukkan sebuah sikap ketegasan Pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan hukum di Indonesia. Kami tentunya masih ingat berbagai kejanggalan dan pelanggaran atas proses hukum yang dialami terpidana mati Gelombang I, II dan III yang telah dieksekusi mati di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini. Sebut saja Rodrigo Gularte, WN Brazil yang dieksekusi mati meski telah terbukti secara medis memiliki ganguan kesehatan jiwa dan harus dirujuk ke RS Jiwa, Humprey Ejike Jefferson, WN Nigeria dan Freddy Budiman, WN Indonesia yang tetap dieksekusi mati meski tengah mengajukan upaya hukum grasi dan masih banyak lainnya.
Selain Yusman, masih terdapat korban rekayasa kasus lain yang terancam hukuman mati, yakni Ruben Pata Sambo dan Markus Sambo. Mereka dituduh melakukan pembunuhan yang tidak mereka lakukan sehingga mereka diganjar hukuman mati. Harapan mereka lolos dari hukuman mati pun semakin minim seiring dengan terbatasnya mekanisme upaya hukum yang tersedia dalam sistem peradilan di Indonesia. Dengan momentum pembebasan mantan terpidana mati Yusman Telaumbanua serta harapan untuk adanya perbaikan dalam sistem peradilan di Indonesia ini, KontraS mendesak:
Pertama, Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Jaksa Agung menghentikan rencana pelaksanaan eksekusi mati dan meninjau kembali seluruh vonis hukuman maksimal terhadap terpidana mati di Indonesia. Kami juga mendesak Presiden untuk membentuk Tim Khusus untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia;
Kedua, Pejabat Negara untuk berhenti membangun opini publik yang 'ngawur' dan menyesatkan terhadap mereka yang diancam pidana maksimal karena hal tersebut akan mempengaruhi perspektif masyarakat maupun independensi aparat penegak hukum dari proses hukum yang tengah atau akan dihadapi oleh tersangka / terdakwa;
Ketiga, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan Ombudsman RI untuk lebih memaksimalkan kewenangannya dalam melakukan tindakan pengawasan terhadap kinerja – kinerja aparat penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan hingga pengadilan. Kami juga mendesak Lembaga Legislatif untuk melakukan fungsi pengawasan dengan membentuk Pansus Khusus kasus – kasus unfair trial di Indonesia.
Keempat, Mahkamah Agung melakukan kajian dan mengeluarkan kebijakan semisal Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai prinsip kehatian-hatian dalam penerapan hukuman mati dengan menjadikan kasus Yusman sebagai salah satu bahan pembelajaran. Siaran Pers KontraS menyebutkan. (SUR).
Kami meyakini bahwa masih banyak terpidana mati lainnya yang saat ini tengah menghadapi ancaman hukuman mati akibat adanya rekayasa kasus atau proses peradilan yang tidak adil (unfair trial) sejak di tingkat penyidikan.
Salah satu terpidana mati yang pernah menghadapi proses unfair trial adalah Yusman Telaumbanua. Pada 2013 lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nias memutus Yusman Telaumbanua dan kakak iparnya, Rasula Hia dengan pidana mati terkait kasus pembunuhan berencana terhadap 3 orang yang terjadi setahun sebelumnya. Yusman dipaksa mendandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tanpa mengetahui isinya, disiksa oleh penyidik hingga tidak diberi bantuan penerjemah bahasa Nias meski yang bersangkutan saat itu belum bisa berbicara dan menulis bahasa Indonesia.
Status Yusman sebagai remaja putus sekolah yang tidak memiliki identitas atau dokumen hukum apapun yang menunjukkan usianya yang masih dibawah umur saat itu, dijadikan kesempatan oleh penyidik untuk mengubah identitasnya menjadi usia dewasa sehingga hak-haknya sebagai terdakwa anak banyak dilanggar. Proses pembuktian di persidangan pun dinilai sangat lemah karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya mampu menghadirkan saksi – saksi yang tidak berada di lokasi kejadian dan tidak mengetahui pasti peristiwa (Testimonium De Auditu).
Fakta – fakta mengenai rekayasa kasus terhadap Yusman dan kakak iparnya baru diketahui oleh KontraS pada akhir tahun 2014 ketika Tim KontraS bertemu dengan Yusman di Lapas Batu Nusakambangan, Cilacap. KontraS juga telah mempublikasikan dugaan adanya rekayasa kasus yang dialami Yusman Telaumbanua pada 2015 setelah KontraS resmi menjadi kuasa hukum yang bersangkutan. (Lihat Siaran Pers KontraS 16 Maret 2015, “Rekayasa Kasus yang Berujung pada Vonis Hukuman Mati terhadap Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia”, http://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2013)
Tepat di momentum hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72, Yusman Telaumbanua akhirnya bebas setelah menjalani pidana penjara selama 5 (lima) tahun lamanya. Pembebasan ini terjadi pasca Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang membatalkan vonis mati PN Gunungsitoli sebelumnya terhadap Yusman pada Januari 2017 ini. Adanya bukti baru (novum) yang diajukan KontraS terkait usia pasti Yusman Telaumbanua yang diperoleh melalui pemeriksaan forensik gigi besar kemungkinan menjadi salah satu bukti kuat yang meloloskan Yusman dari ancaman pidana mati.
Dari keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan Peninjauan Kembali dengan Nomor Perkara 8/PID/B/2013/PN-GST, diketahui bahwa hasil pemeriksaan tulang dan gigi Yusman Telaumbanua yang diuji oleh Tim Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung membuktikan bahwa usia Yusman Telaumbanua pada saat dilakukan pemeriksaan forensik pada tahun 2016 berkisar 18 – 19 tahun, sehingga jika ditarik mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada tahun 2012, maka usia Yusman saat itu antara 15 – 16 tahun.
Pembatalan vonis hukuman mati oleh Mahkamah Agung menjadi vonis 5 tahun penjara terhadap Yusman Telaumbanua, menguatkan fakta bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan akan adanya kekeliruan atau kesalahan yang dapat berakibat fatal, terlebih bagi mereka yang dituntut dan divonis hukuman mati. Prinsip kehati-hatian seringkali dilanggar dalam setiap tahapan proses hukum hanya demi menunjukkan sebuah sikap ketegasan Pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan hukum di Indonesia. Kami tentunya masih ingat berbagai kejanggalan dan pelanggaran atas proses hukum yang dialami terpidana mati Gelombang I, II dan III yang telah dieksekusi mati di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini. Sebut saja Rodrigo Gularte, WN Brazil yang dieksekusi mati meski telah terbukti secara medis memiliki ganguan kesehatan jiwa dan harus dirujuk ke RS Jiwa, Humprey Ejike Jefferson, WN Nigeria dan Freddy Budiman, WN Indonesia yang tetap dieksekusi mati meski tengah mengajukan upaya hukum grasi dan masih banyak lainnya.
Selain Yusman, masih terdapat korban rekayasa kasus lain yang terancam hukuman mati, yakni Ruben Pata Sambo dan Markus Sambo. Mereka dituduh melakukan pembunuhan yang tidak mereka lakukan sehingga mereka diganjar hukuman mati. Harapan mereka lolos dari hukuman mati pun semakin minim seiring dengan terbatasnya mekanisme upaya hukum yang tersedia dalam sistem peradilan di Indonesia. Dengan momentum pembebasan mantan terpidana mati Yusman Telaumbanua serta harapan untuk adanya perbaikan dalam sistem peradilan di Indonesia ini, KontraS mendesak:
Pertama, Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Jaksa Agung menghentikan rencana pelaksanaan eksekusi mati dan meninjau kembali seluruh vonis hukuman maksimal terhadap terpidana mati di Indonesia. Kami juga mendesak Presiden untuk membentuk Tim Khusus untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penerapan hukuman mati di Indonesia;
Kedua, Pejabat Negara untuk berhenti membangun opini publik yang 'ngawur' dan menyesatkan terhadap mereka yang diancam pidana maksimal karena hal tersebut akan mempengaruhi perspektif masyarakat maupun independensi aparat penegak hukum dari proses hukum yang tengah atau akan dihadapi oleh tersangka / terdakwa;
Ketiga, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan Ombudsman RI untuk lebih memaksimalkan kewenangannya dalam melakukan tindakan pengawasan terhadap kinerja – kinerja aparat penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan hingga pengadilan. Kami juga mendesak Lembaga Legislatif untuk melakukan fungsi pengawasan dengan membentuk Pansus Khusus kasus – kasus unfair trial di Indonesia.
Keempat, Mahkamah Agung melakukan kajian dan mengeluarkan kebijakan semisal Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai prinsip kehatian-hatian dalam penerapan hukuman mati dengan menjadikan kasus Yusman sebagai salah satu bahan pembelajaran. Siaran Pers KontraS menyebutkan. (SUR).
No comments