Satu Tahun Vaksin Palsu, Menagih Kembali Tanggung Jawab Negara.
Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu |
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Satu tahun lalu ( 14 Juli 2016), Kementerian Kesehatan mengumumkan secara resmi 14 nama Rumah Sakit yang terdapat vaksin palsu, salah satunya RS Harapan Bunda. Kabar tersebut jelas membuat resah para orang tua yang sedang melakukan vaksinasi terhadap anak-anaknya. Di hari yang sama, orang tua korban mendatangi rumah sakit untuk meminta klarifikasi atas berita tersebut hingga akhirnya keluar surat pernyataan pertanggungjawaban dari rumah sakit terhadap anak-anak yang diduga menjadi korban. Namun, hingga kini pertanggungjawaban itu tidak kunjung ditunaikan padahal statusnya sudah dinaikkan ke level nasional.
Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu bersama dengan Komisi untuk Orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) secara konsisten mengawal proses pemulihan oleh negara atas kejadian vaksin palsu. Pemulihan tidak cukup dengan melakukan vaksinasi ulang yang mana pada pelaksanaannya pun penuh dengan kejanggalan, melainkan juga secara profesional, akuntabel, dan transparan, khususnya berkenaan dengan penangangan vaksin palsu di 14 rumah sakit yang seharusnya ada dibawah pengawasan Kementerian Kesehatan dan badan – badan pemerintahan terkait.
Kami kembali mengingatkan bahwa beredarnya vaksin palsu membuktikan adanya kelalaian Negara terkait dengan pengawasan obat, alat kesehatan, dan jaminan hak atas pelayanan dan penyelenggaran kesehatan lainnya. Kasus vaksin palsu telah melanggar elemen-elemen hak asasi manusia, di antaranya hak atas pencegahan, penanggulangan, dan pemeriksaan penyakit, hak atas fasilitas kesehatan, barang dan jasa, hak ibu, hak anak, dan hak atas informasi. Sementara, tindakan negara yang sejauh ini hanya menyederhanakan masalah; dengan melalui cara vaksinasi ulang terhadap korban vaksin palsu. Namun negara tidak menyentuh pada proses pemulihan terhadap hak – hak korban serta jaminan ketidak berulangan.
Kami menilai bahwa selama 1 tahun kami tidak menemukan proses pemulihan yang efektif dari serta jaminan ketidakberulangan dari Negara. Lembaga – lembaga negara seperti Komnas HAM, KPAI, Ombudsman yang merupakan lembaga pengawas tidak mengeluarkan rekomendasi maupun solusi, padahal merujuk pada aturan terkait lembaga – lembaga Negara tersebut, memiliki fungsi dan kewenagan. Bahkan Kementrian Kesehatan yang merupakan salah satu Oprator yang menjalankan Undang – Undang Kesehatan tidak melakukan tindakan yang konkrit guna pemenuhan proses pemulihan dan jaminan ketidakberulangan kasus Vaksin Palsu. Sementara itu terkait dengan Upayah Penegakan Hukum kami melihat bahawa proses penegakan hokum belum menyentuh pada proses pertanggungjawaban Negara dan Korporasi. Proses penegakan hukum terlihat hanya sebatas menindak pada tahapan produsen dan oknum dokter, proses penegakan hokum belum berhasil mengungkap jalur peredaran vaksin secara menyeluruh serta keterlibatan berbagai aktor dibalik bisnis vaksin yang sudah terjadi sejak belasan tahun tersebut. Padahal, jika pemerintah tertib hukum, akan ada tindakan tegas terhadap RS bersangkutan yang terbukti lalai dalam kasus vaksin palsu, menelusuri alur bisnis peredaran vaksin palsu, juga jaminan tidak terjadinya kembali kasus serupa.
Selama satu tahun, KontraS dan Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu menemukan fakta-fakta terkait hilangnya tanggung jawab negara dalam bertanggung jawab pada kasus vaksin palsu:
Pertama, pada 25 Juli 2016, Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu mengadukan kasus vaksin palsu ke Komnas HAM. Birokrasi yang rumit dalam internal Komnas HAM sebagai sebuah organisasi membuat penanganan kasus vaksin palsu berjalan sangat lambat. Surat rekomendasi keluar satu bulan setelah pengaduan, sementara pemanggilan terhadap instansi terkait untuk dipertemukan dengan korban tidak dilakukan. Lebih dari itu, surat dari Komnas HAM tidak mendapat perhatian penuh oleh Kementerian Kesehatan dan Komnas HAM berhenti sampai di situ.
Kedua, pada 27 Juli 2016, Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu mengadukan kasus vaksin palsu ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi yang terjadi di Kementerian Kesehatan. Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu menuntut Ombudsman untuk pemeriksaan terhadap petugas atau pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat serta pihak lain yang terkait guna memperoleh keterangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selama setahun, Ombudsman telah melakukan tiga kali FGD (Aliansi dan Kemenkes) dan kajian yang dilakukan oleh Ombudsman terhadap 14 rumah sakit, namun hasil dari kedua metode tersebut belum dipublikasikan ke publik.
Ketiga, pada 30 Agustus 2016, Aliansi melakukan audiensi dengan Kemenkes untuk meminta hasil laporan Satgas Penanggulangan Vaksin Palsu [Kemenkes, IDAI, Bareskrim, dan BPOM] dalam menelusuri kasus vaksin palsu. Pertemuan yang dihadiri oleh salah satu anggota Satgas itu pun tidak membuahkan hasil. Hingga kini, kami tidak mengetahui kinerja satgas dalam merespon harapan keluarga korban, baik yang akan dilakukan, maupun yang telah dilakukan. Kondisi tersebut menimbulkan keraguan dan kegelisahan untuk korban terkait kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan masalah vaksin palsu. Hal ini diperparah dengan Kemenkes tidak menggunakan pendekatan berbasis korban sehingga pemulihan tidak menyentuh pada hak-hak korban.
Keempat, pada 6 dan 13 Agustus, Aliansi mendatangi KPAI untuk melakukan mediasi dengan RS Harapan Bunda. Namun, dalam dua kali pemanggilan tersebut tidak dihadiri oleh rumah sakit yang bersangkutan. Sementara, KPAI tidak melakukan pemanggilan paksa atau menindaklanjuti lebih jauh atas ketidakhadiran manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda.
Upaya pertanggungjawaban dalam melakukan vaksinasi ulang seolah hanya mengganti permen dengan coklat, sementara hal lain yang menjadi hak-hak korban tidak tersentuh. Kami meyakini bahwa kondisi botol vaksin yang diambil dari bekas limbah terkandung bakteri-bakteri karena tidak steril. Hal ini menegaskan bahwa persoalan vaksin palsu tidak terhenti pada perdebatan ada atau tidaknya dampak, melainkan meyakini bahwa vaksin palsu berasal dari bahan yang tidak steril. ini yang menjadi landasan kami, kalau pemulihan atas korban vaksin palsu harus dilakukan secara tepat dan menyeluruh, serta jaminan kesehatan harus diberikan untuk menangani dampak dari dugaan pemberian vaksin palsu. Ketiadaan tanggung jawab negara yang hilang sejak terjadinya kasus vaksin palsu menunjukkan bahwa tidak ada upaya maksimal dalam pembangunan. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi negara tentang komitmennya pada hak asasi manusia, terutama di sektor kesehatan.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bisa mengacu pada regulasi Inter-American Human Rights System tentang mekanisme pemulihan untuk korban pelanggaran hak atas kesehatan, seperti mekanisme ganti rugi penuh (restitutio di integrum), yang terdiri dari pemulihan situasi yang ada sebelum pelanggaran itu terjadi, pembayaran dari ganti rugi sebagai kompensasi dari kerugian yang disebabkan. Sifat dan kuantitas ganti rugi tergantung pada kerugian yang ditimbulkan. Ganti rugi tidak ditujukan untuk membuat kaya atau memiskinkan keluarga korban. Mekanisme ganti rugi ini bergantung pada dampak yang ditimbulkan. Bisa berupa ganti rugi secara penuh terhadap hak dilanggar, perawatan medis untuk mengembalikan orang yang terluka untuk kesehatan fisik, kewajiban negara untuk membatalkan tindakan administratif tertentu, pemulihan nama baik, atau pemberian jaminan terhadap dampak yang ditimbulkan ke depan.
Lebih detil lagi, Kementerian Kesehatan untuk menggunakan pendekatan berbasis korban dalam pemulihan sebab semua korban pelanggaran harus mempunyai hak untuk pemulihan yang memadai dalam rangka memastikan efektivitas dari mekanisme non-pengadilan, negara harus memiliki legitimasi, mudah diakses, adil, transparan, sesuai dengan aturan, serta berdasarkan dialog. Untuk memungkinkan keluhan atau kegelisahan korban ditangani lebih awal dan direhabilitasi secara langsung, perusahaan harus membangun atau berpartisipasi dalam mekanisme pengaduan operasional yang efektif untuk individu dan kelompok yang terkena dampak. Industri, multi-stakeholder, atau kerja sama lain yang didasarkan pada penghormatan terhadap standar HAM harus memastikan bahwa mekanisme pengaduan yang efektif tersedia.
Hal-hal tersebut bisa dimulai dengan mengumumkan hasil kinerja Satgas Vaksin Palsu kepada publik atas proses yang telah berjalan selama ini sebagai bentuk akuntabilitas dan keterbukaan atas fakta-fakta yang terjadi dalam kasus vaksin palsu. BPOM untuk menjelaskan langkah-langkah preventif dalam mengawasi peredaran obat dan membuat pemetaan tentang nama perusahaan farmasi yang melanggar aturan;
Di sisi lain, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia, Komnas HAM dan KPAI harus mengeluarkan rekomendasi penyelesaian kasus vaksin palsu atas pelaporan keluarga Korban yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Kemudian, memberitahukan hasil temuan, kesimpulan, serta rekomendasi tersebut kepada publik;
Negara harus menggunakan kerangka pelayanan publik yang baik untuk memastikan serta pemenuhan jaminan hak anak atas kesehatan, pemberian akses keadilan bagi keluarga korban, pemulihan yang efektif, dan memastikan tunduknya pelaku bisnis (rumah sakit, perusahaan, penyedia), dan kelompok profesi (dokter) terhadap standar hak asasi manusia. Demikian Siaran Pers KontraS. (SUR
Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu bersama dengan Komisi untuk Orang hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) secara konsisten mengawal proses pemulihan oleh negara atas kejadian vaksin palsu. Pemulihan tidak cukup dengan melakukan vaksinasi ulang yang mana pada pelaksanaannya pun penuh dengan kejanggalan, melainkan juga secara profesional, akuntabel, dan transparan, khususnya berkenaan dengan penangangan vaksin palsu di 14 rumah sakit yang seharusnya ada dibawah pengawasan Kementerian Kesehatan dan badan – badan pemerintahan terkait.
Kami kembali mengingatkan bahwa beredarnya vaksin palsu membuktikan adanya kelalaian Negara terkait dengan pengawasan obat, alat kesehatan, dan jaminan hak atas pelayanan dan penyelenggaran kesehatan lainnya. Kasus vaksin palsu telah melanggar elemen-elemen hak asasi manusia, di antaranya hak atas pencegahan, penanggulangan, dan pemeriksaan penyakit, hak atas fasilitas kesehatan, barang dan jasa, hak ibu, hak anak, dan hak atas informasi. Sementara, tindakan negara yang sejauh ini hanya menyederhanakan masalah; dengan melalui cara vaksinasi ulang terhadap korban vaksin palsu. Namun negara tidak menyentuh pada proses pemulihan terhadap hak – hak korban serta jaminan ketidak berulangan.
Kami menilai bahwa selama 1 tahun kami tidak menemukan proses pemulihan yang efektif dari serta jaminan ketidakberulangan dari Negara. Lembaga – lembaga negara seperti Komnas HAM, KPAI, Ombudsman yang merupakan lembaga pengawas tidak mengeluarkan rekomendasi maupun solusi, padahal merujuk pada aturan terkait lembaga – lembaga Negara tersebut, memiliki fungsi dan kewenagan. Bahkan Kementrian Kesehatan yang merupakan salah satu Oprator yang menjalankan Undang – Undang Kesehatan tidak melakukan tindakan yang konkrit guna pemenuhan proses pemulihan dan jaminan ketidakberulangan kasus Vaksin Palsu. Sementara itu terkait dengan Upayah Penegakan Hukum kami melihat bahawa proses penegakan hokum belum menyentuh pada proses pertanggungjawaban Negara dan Korporasi. Proses penegakan hukum terlihat hanya sebatas menindak pada tahapan produsen dan oknum dokter, proses penegakan hokum belum berhasil mengungkap jalur peredaran vaksin secara menyeluruh serta keterlibatan berbagai aktor dibalik bisnis vaksin yang sudah terjadi sejak belasan tahun tersebut. Padahal, jika pemerintah tertib hukum, akan ada tindakan tegas terhadap RS bersangkutan yang terbukti lalai dalam kasus vaksin palsu, menelusuri alur bisnis peredaran vaksin palsu, juga jaminan tidak terjadinya kembali kasus serupa.
Selama satu tahun, KontraS dan Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu menemukan fakta-fakta terkait hilangnya tanggung jawab negara dalam bertanggung jawab pada kasus vaksin palsu:
Pertama, pada 25 Juli 2016, Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu mengadukan kasus vaksin palsu ke Komnas HAM. Birokrasi yang rumit dalam internal Komnas HAM sebagai sebuah organisasi membuat penanganan kasus vaksin palsu berjalan sangat lambat. Surat rekomendasi keluar satu bulan setelah pengaduan, sementara pemanggilan terhadap instansi terkait untuk dipertemukan dengan korban tidak dilakukan. Lebih dari itu, surat dari Komnas HAM tidak mendapat perhatian penuh oleh Kementerian Kesehatan dan Komnas HAM berhenti sampai di situ.
Kedua, pada 27 Juli 2016, Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu mengadukan kasus vaksin palsu ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi yang terjadi di Kementerian Kesehatan. Aliansi Keluarga Korban Vaksin Palsu menuntut Ombudsman untuk pemeriksaan terhadap petugas atau pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat serta pihak lain yang terkait guna memperoleh keterangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selama setahun, Ombudsman telah melakukan tiga kali FGD (Aliansi dan Kemenkes) dan kajian yang dilakukan oleh Ombudsman terhadap 14 rumah sakit, namun hasil dari kedua metode tersebut belum dipublikasikan ke publik.
Ketiga, pada 30 Agustus 2016, Aliansi melakukan audiensi dengan Kemenkes untuk meminta hasil laporan Satgas Penanggulangan Vaksin Palsu [Kemenkes, IDAI, Bareskrim, dan BPOM] dalam menelusuri kasus vaksin palsu. Pertemuan yang dihadiri oleh salah satu anggota Satgas itu pun tidak membuahkan hasil. Hingga kini, kami tidak mengetahui kinerja satgas dalam merespon harapan keluarga korban, baik yang akan dilakukan, maupun yang telah dilakukan. Kondisi tersebut menimbulkan keraguan dan kegelisahan untuk korban terkait kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan masalah vaksin palsu. Hal ini diperparah dengan Kemenkes tidak menggunakan pendekatan berbasis korban sehingga pemulihan tidak menyentuh pada hak-hak korban.
Keempat, pada 6 dan 13 Agustus, Aliansi mendatangi KPAI untuk melakukan mediasi dengan RS Harapan Bunda. Namun, dalam dua kali pemanggilan tersebut tidak dihadiri oleh rumah sakit yang bersangkutan. Sementara, KPAI tidak melakukan pemanggilan paksa atau menindaklanjuti lebih jauh atas ketidakhadiran manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda.
Upaya pertanggungjawaban dalam melakukan vaksinasi ulang seolah hanya mengganti permen dengan coklat, sementara hal lain yang menjadi hak-hak korban tidak tersentuh. Kami meyakini bahwa kondisi botol vaksin yang diambil dari bekas limbah terkandung bakteri-bakteri karena tidak steril. Hal ini menegaskan bahwa persoalan vaksin palsu tidak terhenti pada perdebatan ada atau tidaknya dampak, melainkan meyakini bahwa vaksin palsu berasal dari bahan yang tidak steril. ini yang menjadi landasan kami, kalau pemulihan atas korban vaksin palsu harus dilakukan secara tepat dan menyeluruh, serta jaminan kesehatan harus diberikan untuk menangani dampak dari dugaan pemberian vaksin palsu. Ketiadaan tanggung jawab negara yang hilang sejak terjadinya kasus vaksin palsu menunjukkan bahwa tidak ada upaya maksimal dalam pembangunan. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi negara tentang komitmennya pada hak asasi manusia, terutama di sektor kesehatan.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan bisa mengacu pada regulasi Inter-American Human Rights System tentang mekanisme pemulihan untuk korban pelanggaran hak atas kesehatan, seperti mekanisme ganti rugi penuh (restitutio di integrum), yang terdiri dari pemulihan situasi yang ada sebelum pelanggaran itu terjadi, pembayaran dari ganti rugi sebagai kompensasi dari kerugian yang disebabkan. Sifat dan kuantitas ganti rugi tergantung pada kerugian yang ditimbulkan. Ganti rugi tidak ditujukan untuk membuat kaya atau memiskinkan keluarga korban. Mekanisme ganti rugi ini bergantung pada dampak yang ditimbulkan. Bisa berupa ganti rugi secara penuh terhadap hak dilanggar, perawatan medis untuk mengembalikan orang yang terluka untuk kesehatan fisik, kewajiban negara untuk membatalkan tindakan administratif tertentu, pemulihan nama baik, atau pemberian jaminan terhadap dampak yang ditimbulkan ke depan.
Lebih detil lagi, Kementerian Kesehatan untuk menggunakan pendekatan berbasis korban dalam pemulihan sebab semua korban pelanggaran harus mempunyai hak untuk pemulihan yang memadai dalam rangka memastikan efektivitas dari mekanisme non-pengadilan, negara harus memiliki legitimasi, mudah diakses, adil, transparan, sesuai dengan aturan, serta berdasarkan dialog. Untuk memungkinkan keluhan atau kegelisahan korban ditangani lebih awal dan direhabilitasi secara langsung, perusahaan harus membangun atau berpartisipasi dalam mekanisme pengaduan operasional yang efektif untuk individu dan kelompok yang terkena dampak. Industri, multi-stakeholder, atau kerja sama lain yang didasarkan pada penghormatan terhadap standar HAM harus memastikan bahwa mekanisme pengaduan yang efektif tersedia.
Hal-hal tersebut bisa dimulai dengan mengumumkan hasil kinerja Satgas Vaksin Palsu kepada publik atas proses yang telah berjalan selama ini sebagai bentuk akuntabilitas dan keterbukaan atas fakta-fakta yang terjadi dalam kasus vaksin palsu. BPOM untuk menjelaskan langkah-langkah preventif dalam mengawasi peredaran obat dan membuat pemetaan tentang nama perusahaan farmasi yang melanggar aturan;
Di sisi lain, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia, Komnas HAM dan KPAI harus mengeluarkan rekomendasi penyelesaian kasus vaksin palsu atas pelaporan keluarga Korban yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Kemudian, memberitahukan hasil temuan, kesimpulan, serta rekomendasi tersebut kepada publik;
Negara harus menggunakan kerangka pelayanan publik yang baik untuk memastikan serta pemenuhan jaminan hak anak atas kesehatan, pemberian akses keadilan bagi keluarga korban, pemulihan yang efektif, dan memastikan tunduknya pelaku bisnis (rumah sakit, perusahaan, penyedia), dan kelompok profesi (dokter) terhadap standar hak asasi manusia. Demikian Siaran Pers KontraS. (SUR
No comments