MA Mengecewakan, Bandar Narkoba Hukuman Mati Jadi 20 Tahun.
Jakarta, BERITA-ONE.COM. Pihak Badan Narkoba nasional (BNN) kecewa terhadap
pemberitaan tentang lolosnya seorang bandar narkoba bernama Abdullah alias Dullah (37) dari hukuman mati melalui kasasi menjadi 20 tahun pada Oktober 2016 lalu telah menyita perhatian banyak pihak.
Banyak respon muncul seperti heran, hingga kecewa mengapa seorang bandar narkoba yang terlibat dengan pengendalian peredaran barang haram seberat 78,1 kg sabu bisa lolos dari hukuman paling berat.
Seperti dihimpun dari sejumlah media, Abdullah ini lolos dari vonis mati setelah mengajukan kasasi dan hasilnya, ia diketok palu menjadi 20 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.
Pada Hal, , ia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh, dan dikuatkan di Pengadilan Tinggi.
Keputusan mengubah hukuman mati menjadi 20 penjara ini dinilai bisa membuat upaya penegakan hukum terlihat menjadi lebih tumpul. Karena jelas sekali kejahatan narkotika merupakan kejahatan kemanusiaan. Akibat ulah para pelaku kejahatan seperti bandar dan juga pengedar, banyak generasi bangsa kehilangan masa lalu, maka kini dan masa depannya. Namun jika hukumannya justru semakin ringan, ini akan menjadi pertanyaan besar, di mana keadilan.
Semua pihak harus kembali ingat, bahwa narkotika telah banyak menguras air mata jutaan keluarga di negeri ini. Di antara anggota keluarga mereka yang jadi korban narkotika, ada yang harus kehilangan kesehatan jiwa maupun raganya, hingga tak sedikit pula yang akhirnya meninggal dunia.
Terlibat Peredaran Sabu Jumlah Besar
Masyarakat pasti belum lupa dengan penangkapan pada tahun 2015 lalu di daerah Dusun Nabok, Desa Lue Bu Jalan Kecamatan Pereulak Kabupaten Aceh Timur-Aceh. Saat itu, tepatnya pada tanggal 15 Februari 2015, Abdullah ditangkap bersama rekan-rekannya satu jaringan yaitu Usman, Hasan Basri, dan juga Hamdani Razali. Dari jaringan ini, sabu seberat 78106,6 gram. Dari sejumlah keterangan tersangkan lainnya, diketahui bahwa Abdullah merupakan penyokong dana untuk pembelian narkoba yang berasal dari negeri Jiran Malaysia.
Dikutip dari hasil putusan MA, bahwa dari keterangan Usman alias Raoh, ia mengaku bertemu dengan Abdullah di daerah Cot Geulumpang Peurlak Kota Aceh Timur pada 14 Februari 2015 dan diberikan uang sebesar Rp 60 juta untuk mengambil sabu dari Hasan Basri yang dibeli oleh Jenggot (DPO) di Malaysia. Namun sabu itu belum sempat diserahkan kepada Abdullah karena Hasan Basri sudah ditangkap anggota Badan Narkotika Nasional (BNN). Usman mengaku untuk mengambil narkotika sudah enam kali dengan besaran upay mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 60 juta.
Dari secuil data ini, pelaku merupakan pemegang dana yang cukup besar untuk belanja barang haram di luar negeri dan ditebar kembali di dalam negeri untuk meracuni anak bangsa sendiri.
Pernah Kabur Dari Tahanan
Atas perbuatannya, Dullah mulai ditahan penyidik BNN di RUTAN terhitung dari 19 Februari hingga 10 Maret 2015. Lalu terjadi perpanjangan penahanan penuntut umum dari tanggal 6 Maret 2015 sampai dengan 19 April 2015.
Namun, pada tanggal 31 Maret 2015, Abdullah bersama 9 tahanan BNN lainnya sempat melarikan diri. Abdullah sendiri kembali ditangkap pada 5 April 2015.
Ditolak Banding Berkali-Kali
Setelah melalui proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menyatakan amar putusannya pada 21 Desember 2015, dengan nomor putusan Nomor 248/Pid.Sus/2015/PN Bna yaitu menyatakan keempat terdakwa, yang mana salah satunya adalah Abdullah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika yang beratnya melebihi 5 gram (78,1 kg), sehingga dinyatakan melanggar Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan vonis hukuman mati. Upaya hukum yang mereka lakukan dengan cara banding ke Pengadilan Tinggi tidak membuahkan hasil bahkan ditolak berkali-kali.
Tegakkan Supremasi Hukum
Dari kasus ini, tentu semua pihak harus kembali menjunjung semangat penegakkan hukum yang tajam terutama pada para pelaku kejahatan narkotika. Seperti telah diketahui bersama bahwa kejahatan narkotika adalah kejahatan berat. Para bandar atau pengedar telah meracuni anak bangsa sehingga potensi dan daya saing, maupun produktivitasnya menjadi turun. Jika bibit unggul generasi muda saat ini banyak tergerus, lantas siapa yang nantinya akan menjadi generasi penerus.
Negara tak boleh kalah melawan sindikat narkotika. Sekalipun mereka memiliki sumber dana dan kekuatan yang besar, negara harus bisa memberantas habis jaringan sindikat narkotika yang mengancam anak bangsa. Penerapan hukuman mati bagi mereka yang berani mengusik NKRI dengan cara menyulai narkotika, masih perlu dilakukan, karena jelas mereka harus ditindak dengan cara yang paling tegas.
Tanpa ada maksud untuk intervensi dalam sistem peradilan pidana, terutama terhadap kewenangan pengadilan dan mahkamah, diharapkan mata hati penegak hukum tetap terbuka terhadap korban-korban penyalahgunaaan narkotika yang terus berjatuhan. Disamping itu juga efek penegakkan hukum diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada generasi penerus. Demikian artikel dari BMN (SUR)
pemberitaan tentang lolosnya seorang bandar narkoba bernama Abdullah alias Dullah (37) dari hukuman mati melalui kasasi menjadi 20 tahun pada Oktober 2016 lalu telah menyita perhatian banyak pihak.
Banyak respon muncul seperti heran, hingga kecewa mengapa seorang bandar narkoba yang terlibat dengan pengendalian peredaran barang haram seberat 78,1 kg sabu bisa lolos dari hukuman paling berat.
Seperti dihimpun dari sejumlah media, Abdullah ini lolos dari vonis mati setelah mengajukan kasasi dan hasilnya, ia diketok palu menjadi 20 tahun penjara oleh Mahkamah Agung.
Pada Hal, , ia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh, dan dikuatkan di Pengadilan Tinggi.
Keputusan mengubah hukuman mati menjadi 20 penjara ini dinilai bisa membuat upaya penegakan hukum terlihat menjadi lebih tumpul. Karena jelas sekali kejahatan narkotika merupakan kejahatan kemanusiaan. Akibat ulah para pelaku kejahatan seperti bandar dan juga pengedar, banyak generasi bangsa kehilangan masa lalu, maka kini dan masa depannya. Namun jika hukumannya justru semakin ringan, ini akan menjadi pertanyaan besar, di mana keadilan.
Semua pihak harus kembali ingat, bahwa narkotika telah banyak menguras air mata jutaan keluarga di negeri ini. Di antara anggota keluarga mereka yang jadi korban narkotika, ada yang harus kehilangan kesehatan jiwa maupun raganya, hingga tak sedikit pula yang akhirnya meninggal dunia.
Terlibat Peredaran Sabu Jumlah Besar
Masyarakat pasti belum lupa dengan penangkapan pada tahun 2015 lalu di daerah Dusun Nabok, Desa Lue Bu Jalan Kecamatan Pereulak Kabupaten Aceh Timur-Aceh. Saat itu, tepatnya pada tanggal 15 Februari 2015, Abdullah ditangkap bersama rekan-rekannya satu jaringan yaitu Usman, Hasan Basri, dan juga Hamdani Razali. Dari jaringan ini, sabu seberat 78106,6 gram. Dari sejumlah keterangan tersangkan lainnya, diketahui bahwa Abdullah merupakan penyokong dana untuk pembelian narkoba yang berasal dari negeri Jiran Malaysia.
Dikutip dari hasil putusan MA, bahwa dari keterangan Usman alias Raoh, ia mengaku bertemu dengan Abdullah di daerah Cot Geulumpang Peurlak Kota Aceh Timur pada 14 Februari 2015 dan diberikan uang sebesar Rp 60 juta untuk mengambil sabu dari Hasan Basri yang dibeli oleh Jenggot (DPO) di Malaysia. Namun sabu itu belum sempat diserahkan kepada Abdullah karena Hasan Basri sudah ditangkap anggota Badan Narkotika Nasional (BNN). Usman mengaku untuk mengambil narkotika sudah enam kali dengan besaran upay mulai dari Rp 20 juta hingga Rp 60 juta.
Dari secuil data ini, pelaku merupakan pemegang dana yang cukup besar untuk belanja barang haram di luar negeri dan ditebar kembali di dalam negeri untuk meracuni anak bangsa sendiri.
Pernah Kabur Dari Tahanan
Atas perbuatannya, Dullah mulai ditahan penyidik BNN di RUTAN terhitung dari 19 Februari hingga 10 Maret 2015. Lalu terjadi perpanjangan penahanan penuntut umum dari tanggal 6 Maret 2015 sampai dengan 19 April 2015.
Namun, pada tanggal 31 Maret 2015, Abdullah bersama 9 tahanan BNN lainnya sempat melarikan diri. Abdullah sendiri kembali ditangkap pada 5 April 2015.
Ditolak Banding Berkali-Kali
Setelah melalui proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menyatakan amar putusannya pada 21 Desember 2015, dengan nomor putusan Nomor 248/Pid.Sus/2015/PN Bna yaitu menyatakan keempat terdakwa, yang mana salah satunya adalah Abdullah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana narkotika yang beratnya melebihi 5 gram (78,1 kg), sehingga dinyatakan melanggar Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan vonis hukuman mati. Upaya hukum yang mereka lakukan dengan cara banding ke Pengadilan Tinggi tidak membuahkan hasil bahkan ditolak berkali-kali.
Tegakkan Supremasi Hukum
Dari kasus ini, tentu semua pihak harus kembali menjunjung semangat penegakkan hukum yang tajam terutama pada para pelaku kejahatan narkotika. Seperti telah diketahui bersama bahwa kejahatan narkotika adalah kejahatan berat. Para bandar atau pengedar telah meracuni anak bangsa sehingga potensi dan daya saing, maupun produktivitasnya menjadi turun. Jika bibit unggul generasi muda saat ini banyak tergerus, lantas siapa yang nantinya akan menjadi generasi penerus.
Negara tak boleh kalah melawan sindikat narkotika. Sekalipun mereka memiliki sumber dana dan kekuatan yang besar, negara harus bisa memberantas habis jaringan sindikat narkotika yang mengancam anak bangsa. Penerapan hukuman mati bagi mereka yang berani mengusik NKRI dengan cara menyulai narkotika, masih perlu dilakukan, karena jelas mereka harus ditindak dengan cara yang paling tegas.
Tanpa ada maksud untuk intervensi dalam sistem peradilan pidana, terutama terhadap kewenangan pengadilan dan mahkamah, diharapkan mata hati penegak hukum tetap terbuka terhadap korban-korban penyalahgunaaan narkotika yang terus berjatuhan. Disamping itu juga efek penegakkan hukum diharapkan dapat memberikan perlindungan kepada generasi penerus. Demikian artikel dari BMN (SUR)
No comments