Hartono Tanuwidjaja SH.MSI.MH : Reformasi Di Indonesia Sudah Kebablasan.

Ketua PERADI Jakarta barat Hartono Tanuwidjaja SH.MSI.MH,
JAKARTA,BERITA-ONE.COM-Demokrasi di Indonesia sekarang ini dinilai banyak pihak sudah mulai diberangus. Hal ini ditandai  dengan ditangkapnya sejumlah tokoh politik oleh polisi  beberapa waktu lalu. Misalnya, Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet dan lainnya. Mereka dituduh melakukan makar.

Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua Peradi (Persatuan Advokat Indonesia) Jakarta Barat,  Hartono Tanuwidjaja SH.MSI.MH,  mengatakan, Demokrasi boleh, pilih ini pilih itu. Kalau tidak suka ya,  tidak usah dipilih. Tapi  masalah ini sebenarnya terjadi karena era reformasi  di Indonesia ini sudah kebeblasan,  sehingga  bangsa ini sekarang menjadi   terkotak-kotak. Kemudian  saling bacok satu dengan  lainnya.

Semakin kebeblasan reformasi, semakin jauh kebenaran dari kita. Padahal untuk menjadi bangsa yang maju perlu koridor benar atau salah. Sebagai contoh, sekarang di jalan raya saja ada gerobak, sepeda motor dan mobil yang lewat  memotong . Tidak tahu lagi mana yang benar mana yang salah. Pusing.

Jadi kalau dulu,  Satu Nusa, Satu  Bangsa, dan Satu Bahasa, tapi sekarang sudah  berubah menjadi Satu Nusa,  Satu Bangsa, Saling Mangsa, katanya.

Reformasi yang sudah kebeblasan ini dimulai ketika FPI menyerang masyarakat Kebangsaan yang sedang apel di Monas sekitar dua tahun lalu. Yang pada akhirnya pimpinan Ormas ini ditangkap  dan dihukum.

Hal ini tidak akan berubah Sepanjang second line atau  pimpinan lapis ke-2 tidak mau bersatu.Pimpinan lapis ke-2 yang dimaksud misalnya Ulama, Kiai, Pendeta, guru dan lainya. Menurutnya, katanya, sekarang ini perpecahan sudah didepan  mata.

Sebagai contoh, LSM Gerakan Masarakat Bawah Indonesia (GMBI)  yang pelindungnya Kapolda Jawa Barat, Irjen  Anton Charliyan, bentrok dengan Front Pembela Islam (FPI) Pimpinan Habib Rizieq Shihab  di Bandung dan lainya beberapa hari lalu. Dan masih banyak lagi Ormas Ormas lainya yang saling bentrok. Sekarang Ormas sudah di jadikan alat politik. Polisi mau bertindak,  tapi ada yang membekingi, bingung jadi nya. Siapa yang salah siapa yang benar, tidak jelas.
Menjelang pemilihan  Presiden 2019 mendatang situasi akan lebih  ramai. Ini kalau Prabowo Subiyanto mencalonkan diri sebagai Presiden.

Menurut Hartono, agar tidak terjadi perpecahan,  di Indonesia ini pihak lapis ke-2  diharapkan  bisa memberi masukan yang produktif kepada pemerintah agar  melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk  mengatasi masalah  bangsa ini.

Beberapa hari lalu diramaikan  dengan berita 'Hoax' . Pemerintah kemudian  membentuk Badan Siber Nasional, Departemen Siber.  Langkah ini dapat diibarat sudah kebakaran baru dicari pemadam kebakarannya. Ya, tidak akan menyelesaikan masalah sebab, yang jadi masalah  online.

Yang kita  butuhkan sekarang ini adalah membentengi akhlak  bangsa ini agar tidak terpecah -pecah. Dahulu kalau ada takbir,  pasti mau Lebaran. Ada kembang api dan mercon, mau Natal dan Tahun Baru. Ada barongsai, mau Imlek dan lain sebagainya. Tapi sekarang sudah terkotak-kotak.

Sekarang orang salah sedikit dibilang penistaan.Dan orang yang  sekarang ini  berada dalam Ormas tidak merasa takut dengan siapapun, karena merasa banyak teman dan  ada yang membekingi.

Menghadapi situasi seperti sekarang ini , tensi  penyebabnya harus dikurangi,  dengan jalan pemilihan kepala daerah (Pilkada)  hanya diikuti 3 partai saja,  seperti dijaman Orba.

Namun kenyataannya, sekarang partai baru bermunculan, antara lain Partai Perindo,  Partai Idaman dan lainnya. Sekarang  partai   Islam, ada 6 partai. Jadi Islam di Indonésia ini sudah terpecah pecah.

Sekarang harga harga mahal, cabai naik, surat-surat kendaraan naik, listrik naik, bensin naik. Tapi anehnya kata Hartono, Presiden saat ditanya masalah ini mengaku tidak tahu. Padahal dia sendiri yang teken peraturannya.  Dan lagi, masuk Sekolah  Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) bayar Rp 200 juta. Setelah jadi mahasiswa dibunuh oleh seniornya dengan cara dikeroyok. Inilah wajah Indonesia. Tidak ramai kalau tidak begini.

Sekarang ini ada orang dituduh makar. Mereka mengadu ke DPR diterima Fadli Zon. Dan dia menganjurkan pada polisi untuk membebaskannya.Orang ini maunya apa,  mau jadi Presiden?

Sudah dua tahun Jokowi memerintahkan,  mengutamakan pembangunan infrastruktur agar perkembangan ekonomi tidak terhambat, dengan  biaya pinjam sana,  pinjam    sini.
Harga cabai Rp 200 ribu/kg, harga daging sapi dari mau Lebaran sampai sekarang harganya tetap sama, Rp 100 ribu/kg. Karena ini politik,  dimanfaatkan oleh lawan. Didepan haha- hihi , haha-hihi,  terlihat sebagai teman,  tapi di belakang menjadi lawan.

Sekarang Indonesia harusnya bersiap siap  karena sudah menjelang 100 tahun atau satu abad usia negeri ini. Kalau ada target, sekarang harus dijalankan . Karena dalam setiap pergantian pemimpin negara,  orang berharap akan lebih baik nasipnya. Tapi yang terjadi pendapatan masyarakat tidak meningkat, dan harga-harga malah semakin naik. Yang diharapkan masyarakat jauh dari harapan.

Jadi janji-janji pimpinan negara sulit untuk dipenuhi semua.  Dan siapapun yang menjadi pimpinan negara  akan mengalami hambatan. Jokowi dengan programnya  revolusi  mental, ada Menteri Koordinator Pembangunan Manusia. Namun kerjanya tidak jelas. Yang diperbaiki ini mental atas atau bawah, luar atau dalam, tak jelas. Kerjanya di belakang meja terus, blusukan tak pernah.

Yang dibutuhkan dalam mengisi kagagalan ini, pimpinan  lapis ke-2  tadi misalnya, pemuka agama, Kiai, Pasteur,  pendeta dan guru memberikan pengarahan/koridor.

Dahulu koridor agama
jelas.  Koridor agama di Indonesia di bentengi oleh,  sebelah kiri NU (Nahdlatul Ulama), sebelah kanan Muhammadiyah. Tapi Sekarang muncul Ormas-Ormas kecil misalnya, FPI, MMI,  HTI dan lainya. Ini semua karena pemerintah tidak melarang.

Majelis Ulama Indonesia ( MUI) juga dianggap sebagai batas koridor, tapi  ini bukan lembaga negara. Sebab lembaga negara itu bisa menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Tentang koridor baik dan buruk ini, sekarang sudah melebar

Guna menghindari perpecahan bangsa,  NU tidak ikut dalam unjuk rasa di Monas Desember lalu.
Tapi semuanya ini tidak akan berhasil sepanjang
second line atau lapis ke-2
tidak bersatu, kata Hartono Tanuwidjaja SH.MSI.MH,  mengakhiri percakapannya dengan BERITA-ONE.COM dikantornya. (SUR).

No comments

Powered by Blogger.