Hartono Tanuwidjaja : Pemidanaan Bukan Menyelesaikan Masalah, Tapi Membuat Masalah Baru Bagi Negara.

Hartono Tanuwidjaja SH.MSI.MH.
Jakarta,BERITA-ONE.COM-Seorang pengacara cukup kondang di negeri ini, Hartono Tanuwidjaja SH.MSi.MH, nuraninya  dibuat iba mendengar pengakuan  terdakwa Budiyono dan M. Fitrah yang baru saja dihukum masing masing 9 tahun penjara oleh hakim Binsar Gultor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan sebelumnya mereka oleh Jaksa Yanuar dituntut masing masing 10 tahun penjara karena terbukti    memiliki 16 gram sabu, 15 Desember 2016.

Hartono  kemudian tahu kalau mereka terdakwa tidak didampingi penasehat hukum karena , kata mereka , memang  menolak untuk didampingi penasehat hukum sejak awal sidang kasus ini dimulai ,  katanya.

Berkaitan dengan proses hukum yang dialami mereka, misalnya, tentang tidak didampingi penasehat hukum, tuntutan Jaksa yang dinilai tinggi,  serta vonis  hakim yang cukup berat,  Penegak Hukum yang  satu ini mengatakan, "Mari kita Kaji dari kasus ini," ajaknya.

Kata Hartono, menurut KUHAP, setiap terdakwa yang  diancam hukuman 5 tahun keastas , wajib didampingi Penasehat Hukum, tak  bisa ditawar-tawar, harus ada. Karena KUHAP mewajibkannya.

Jadi menolaknya  para terdakwa didampingi penasehat hukum, mungkin saja mereka  beranggapan akan mengeluarkan biaya yang mahal. Sedangkan mereka  tidak mempunyai biaya untuk itu. Padahal ada yang tidak  bayar alias  gratis, yaitu penasehat hukum dari LBH,  Pos Bantuan Hukum (Pobakum)  yang ada di setiap Pengadilan Negeri di Jakarta.

Sehingga para terdakwa yang tidak mengerti dan tidak mampu membayar pengacara,  perlu mendapatkan penjelasan yang sejelas mungkin   dari Jaksa ataupun hakim agar terdakwa  mau didampingi penasehat hukum,  karena KUHAP mewajibkannya.

Sedangkan hal lainnya menurut Hartono Tanuwidjaja SH.MSi.MH. adalah;
Pertama, selama ini untuk setiap kasus, Kejaksaan tidak punya standarsasi  berat atau ringan tentang suatu tuntutan pidana kepada terdakwa. Maka Kejaksaan harus hati-hati, mempertimbangkan setiap aspek.

Kedua,  pemidanaan  jangan hanya dilihat dari besar kecilnya hukuman. Saat  hukuman dijatuhkan, bukan menyelesaikan masalah,  akan tetapi menimbukan masalah baru. Kenapa demikian? Karena penghukuman menambah beban bagi negara. Sebagai contoh,   Budiyono dan M.Fitrah  yang  dihukum 9 tahun penjara. Selama dalam di penjara , berapa   biaya makan dan lainnya yang dikeluarkan negara. Tentu saja tidak sedikit, sebab di Jakarta,  biaya yang dikeluarkan untuk setiap napi itu Rp 15 ribu rupiah untuk makan setiap napi, dan diluar Jakarta Rp 25 ribu. Lalu dikalikan jumlah napi yang ada sekarang ini, Berapa  negara mengeluarkan  biaya setiap bulannya?  Pasti sangat  besar.

Jadi, menjatuhkan pidana   bukan suatu tolok ukur dari suatu penegakan hukum, karena saat palu hakim diketuk   untuk suatu pemidanaaan, bukan menyelesaikan masalah, tapi menimbukan  masalah baru.

Hartono megatakan, kita semua tahu kalau di Indonesia ini mempunyai Lapas 447. Keadaan 6  bulan terakhir Dirjen Pas membuat setmen,  sedang berhutang  Rp 300 milyar untuk biaya makan dan lainnya bagi para nara pidana (Napi). Jadi  biaya untuk napi selalu mines lantaran bertambahnya penghuni penjara.

Ketiga, hakim harus perhatian aspek sosial, karena dalam hakim membuat suatu  putusan pidana ada pertimbangan  hukum yang Meringankan dan Memberatkan. Sehingga, kalau terdakwa narkoba itu tidak didampingi pengacara dan tidak ada saksi yang meringankan, dari mana hakim dalam putusannya  bisa mengatakan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa ? Untuk itu  istrinya terdakwa bisa menjadi saksi yang meringankan.

Keempat,Pencari keadilan. Di Indonesia ini banyak orang mencari keadilan berkata; bahwa  keadilan itu hanya untuk mereka yang punya duit. Orang  yang tidak punya uang /miskin selalu di ancaman dengan hukuman yang tinggi, karena tidak bisa koordinasi dengan pihak Kejaksaan, tidak   bisa minta tolong atau menyetor uang. Hal semacam ini harus menjadi perhatian Jaksa.

Sudah menjadi rahasia umum kalau tingkat  keadilan di negeri kita ini sangat  jauh bila dibandingkan antara si kaya dan si miskin. Ini harus menjadi perhatian yang serius. Jadi jangan sampai untuk terdakwa yang tidak mempunyai uang hakimnya memutus "seenae dewe"
(seeanaknya sendiri),  terdakwa dihukum tinggi.
Begitu juga dengan Jaksa, terdakwa tidak  sektor, tuntutannya dibuat maksimal atau setinggi mungkin. Dari sini seolah kita tidak punya perikemanusiaan.Dan memang , hukum tidak punya perikemanusiaan. Tapi, kita bicara aspek permasalahan sosial, itu harus di kaji

Kalau kita mau beripikir pemidanaan hukum yang tinggi, terapkan saja kepada musuh bangsa, penyalahgunaan Narkoba,  dan terorisme. Nggak usah capek-capek, dibuang atau dihukum mati saja.

Kita tahu, baru saja ada  peninjauan kebali (PK) yang diajukan oleh Benny. Orang ini sudah dihukum mati, kok PK, PK dan PK terus. Biaya siapa orang ini selama belum dieksekusi, tentu saja biaya dari negara. Orang yang sudah dihukum mati begini saja pelaksanaannya, kok,  susah.

Kelima,  Pers wajib meberikan idukasi pada masyarakat dengan cara memberitkan kasus-kasus yang menjadi perhatian publik supaya diberitakan pada media massa, entah itu media elektronik, cetak atau online. Dan jangan kasus-kasus besar saja yang diangkat, tapi kasus kecil seperti ini juga diangkat agar orang jadi tahu kalau ada informasi seperti ini. Orang yang tidinya mau berbuat jahat jadi takut karena akibatnya akan menderita.

Kalau kita biarkan terus seperti ini, maka Indonesia akan menjadi Negeri  Satu Juta  Ancaman Pidana. Karena, semua orang terancam pidana, tak kenal Idukasi, tingkatan ekonomi dan seterusnya. Kita nanti akan menjadi bangsa yang terpidana, sebab kita akan  demikian  mudah menjadi terpidana. Ngomong sedikit dipidana, ini salah dipidana, dan seterusnya.

Kalau sudah demikian, semangat sumpah pemuda jadi menurut.  "Sumpah Pemuda yang berbunyi  Satu Nusa ,Satu bangsa , Satu Bahasa. Jangan sampai  berubah menjadi Satu Nusa Satu Bangsa Saling Mangsa", kata Hartono.

Dengan pernyataan Presiden Jokowi baru -baru ini, yang mengatakan bahwa di Indonesia sekarang ini setiap tahunnya 15 ribu orang mati karena narkoba, Hartono mengatakan,  ada upaya represip dan prefentip.Kedua upaya ini singkron atau tidak? Apa gunana  pelaku narkoba dihukum, kalau narkobanya  masuk terus  ke Indonesia. Perlu ada prefentip atau pencegahan  yang lebih  canggih lagi.

Sekarang lagi ramai tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mengapa MUI tidak membuat Fatwa tentang Narkoba yang melarang kalau Narkoba itu karam bagi umat Islam.  Maka   silahkan  MUI membuat Fatwa tersebut", akhirnya kata Hartono. (SUR).

Hartono Tanuwidjaja SH.MSI.MH.

No comments

Powered by Blogger.