Mantan Panitera PN Jakarta Pusat Diadili.
Terdakwa Edy Nasution SH. |
Lantaran sudah beberapa waktu tidak
ditindaklanjuti oleh Eddy, maka Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro dan
meminta untuk membuat surat memo yang ditujukan kepada Nurhadi selaku
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) RI guna membantu pengurusannya, setelah itu
terdakwa menghubungi Wresti dan menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan
penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan. Dengan arahan Nurhadi
,agar disediakan uang sebesar Rp3 miliar, kata Jaksa.
Dalam dakwaan, Edy Nasution didakwa menerima
hadiah uang Rp1,5 miliar, Rp100 juta, 50 ribu dolar AS dan Rp50 juta untuk
mengurus sejumlah perkara terkait perusahaan Lippo Group di PN Jakpus.
Permintaan Rp3 miliar itu diawali dengan adanya
putusan kasus tanah milik ahli waris Tan Hok Tjiou, namun dikuasai
oleh PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) yang telah dijadikan lapangan golf
Gading Raya Serpong. Para ahli waris meminta eksekusi yang didelegasikan
ke PN Tangerang.
Saat akan dilakukan eksekusi, pihak lawan
mengajukan keberatan pada 11 November 2013 ke PN Jakpus. Dan hasilnya,
eksekusi ditangguhkan sementara , namun dibalas oleh ahli waris Tan Hok
Jioe dengan mengirimkan surat pada November 2014 dan Februari 2015 agar
menindaklanjuti pelaksanaan eksekusi.
Badan usaha dibawah bendera Lippo
Group ini mengetahui adanya permohonan eksekusi lanjutan atas tanah tersebut
dari ahli waris melalui kuasanya, kemudian Eddy Sindoro dan Ervan Adi Nugroho
mengutus Wresti Kristian Hesti sebagai staf legal Lippo Group mengurus
menjegal permohonan eksekusi lanjutan itu dengan jalan menemui Eddy
Nasution selaku panitera PN Jakpus. Hal ini terjadi pada Agustus
2015.
Dibulan itu, Wresti menyampaikan permintaan
uangn itu kepada Eddy Sindoro dan Ervan melalui BBM ,yang intinya meminta uang
Sebesar Rp 3M. namun Eddy Sindoro menyanggupinya hanya sebesar Rp1 M .
Dan hal ini diaampailan kepada Edy Nasution.
Kata mantan panitera itu melalui telepon
menyampaikan , bahwa sesuai arahan Nurhadi , uang tersebut akan digunakan
untuk pertandingan tenis seluruh Indonesia. Akhirnya permintaan uang
tersebut turun jadi Rp2 M," jelas Jaksa.
Selanjutnya oleh Eddy Sindoro pun hanya di
sanggupi Rp1,5 M .Wresti menyampaikan hal itu pada 23 September 2015 kepada Edy
Nasution, dan Edy pun menyetujuinya Pada 7 Oktober 2015, dan Edy Nasution
menagih uang Rp1,5 miliar itu untuk turnamen tenis di Bali, tenis beregu
itu memperebutkan piala Ketua Mahkamah Agung .
Selajutnya Doddy menghubungi Eddy Nasution untuk
bertemu di hotel Acacia, Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat. Uang Rp1,5 miliar
dalam mata uang dolar Singapura pun diserahkan dalam amplop cokelat besar di
hotel yang.telah disepakati.
Tamggal 5 November 2015, keluarlah surat jawaban
dari PN Jakarta Pusat yang telah ditandatangai oleh Ketua PN Jakpus Gusrizal
namun belum diberi tanggal atas permohonan eksekusi lanjutan. Edy Nasution
memberitahukan. Surat itu diambil Doddy di PN Jakpus . Setelah mempelajari
surat tersebut, Wresti meminta Edy melalui telepon agar tidak dulu
mengirim surat ke pihak pemohon eksekusi.
Setelah surat direfisi karena ada
permintaan, untuk diganti menjadi 'tidak dapat dieksekusi' supaya klop
pada surat ketua PN Pusat yang ditujukan kepada PN Tangerang sebelumnya
tertanggal 11 November 2013.
Setelah dikonsultasikan kepada Nurhadi di
MA, yang juga disebut sebagai promotor, singkat cerita
surat atas jawaban eksekusi itu tidak pernah dikirimkan Edy Nasution kepada kuasa pemohon eksekusi lanjutan , yaitu Supramono walau sudah beberapa kali menemui Edy di ruang kerjanya dan Edy mengatakan bahwa surat itu belum ada penyelesaiannya.
surat atas jawaban eksekusi itu tidak pernah dikirimkan Edy Nasution kepada kuasa pemohon eksekusi lanjutan , yaitu Supramono walau sudah beberapa kali menemui Edy di ruang kerjanya dan Edy mengatakan bahwa surat itu belum ada penyelesaiannya.
Nurhadi juga masih ikut serta dalam pengurusan
dua perkara lain yaitu penundaan teguran ( aanmaning) perkara niaga PT
Metropolitan Tirta Perdana (MTP) yang merupakan salah satu anak perusahaan
Lippo Group melawan Kymco melalui PN Jakarta Pusat sesuai putusan Singapura
International Arbitration Centre (SIAC) No 62 tahun 2013 tanggal 1 Juli 2013,
ARB No 178 tahun 2010.
"Terhadap pengurusan penundaan tegoran
aanmaning PT MTP tersebut, pihak Lippo Group melalui Wresti atas arahan Eddy
Sindoro juga membuat memo yang ditujukan kepada Nurhadi yang diangap sebagai
promotor dan dianggap dapat membantu untuk tidak dapat dilakukan eksekusi
atas putusan SIAC tersebut.
Jaksa Titto Jaelani mengatakan perkara ketiga,
Nurhadi ikut dalam pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia
Limited (AAL) meski sudah melewati batas waktu dan membantu perkara yang masih
dihadapi Lippo Group di PN Jakpus.
"Setelah terdakwa mengetahui kelengkapan
berkasnya dan terdakwa juga dihubungi Nurhadi selaku Sekretaris MA melalui
telepon yang meminta berkas niaga perkara PT AAL untuk segera dikirim ke MA,
terdakwa mengirim ke MA pada 30 Maret.
Tindakan Edy Nasution ini melanggar
pasal 12 huruf a atau pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP
Menjawab pertanyaan, Edy Nasution mengaku
mengerti terhadap dakwaan Jaksa dan tidak eksepsi. Sidang ditunda satu minggu.
(SUR).
No comments