Gubernur DKI Dituntut Bayar Ganti Rugi Tanah Rp 150 Juta Per M2 Pada Para Penggugat
Jakarta, BERITA-ONE.COM - Karena terlalu subjektif dalam menentukan harga tanah bagi yang terkena proyek Mass Rapid Transit (MRT), Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia,Gubenur DKI Cs digugat lagi ke pengadilan untuk yang kedua kalinya. Para penggugat, melalui kuasa hukumnya Hartono Tanuwidjaja SH, MSi, kalau yang pertama ke Pengadilan Jakarta Selatan (Jaksel), kini yang kedua ke Pengadilan Negeri JakartanPusat , Kamis,15 September 2016.
Dalam surat gugat yang bernomor register; 493/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Pst, tertanggal 15 September tersebut, Hartono memdapatkan kuasa dari Dheeraj Mohan Asnawi dan Ny. Rashmee Mahesh Lalmalani, warga Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.
Dikatakan , Gubernur DKI Jakarta sebagai tergugat I, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta tergugat II, serta Pimpinan Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) Anas Karim Rivai & Rekan sebagai tergugat III. Para tergugat dinilai telah melakulan perbuatan melawan hukum.
Dalam posita gugatannya disebutkan, para penggugat adalah memiliki tamah di Kelurahan Gandaria Selatan ,Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Fatmawati. Tanah- tanah mereka terkena proyek MRT Lebakbulus - Bundaran Hotel Indonesia, dihargai seenaknya saja oleh pemerintahan DKI Jakarta, yaitu anatara Rp 25 juta sampai Rp 50 juta saja per- M2-nya. Dan penetapan harga tanah ini tanpa adanya kesepakatan dan musyawarah terlebih dahulu dengan para pemilik tanah tersebut. Karuan saja mereka menolak rarena , tidak seusai dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI) , Perpres No.71 tahun 2012, dan Undang Undang No. 2 tahun 2012, dimana telah ditekankan bahwa dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum harus dilandasi dengan kesepakatan dan musyawarah serta tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan. Namun para tergugat telah mengabaikan semuanya ini.
Belakangan baru diketahui tindakan tergugat I dan II ini dilandasi adanya surat hasil penelitian aset yang diterbitkan oleh tergugat III berupa; Laporan Final Jasa Konsultasi Apprasial bidang jalan dan jembatan pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta tahun anggaran 2014 Ref.02823 10014 APPAKR tanggal 23 Oktober 2014 , yang isinya bersifat umum, general dan global, bahkan berdasarkan batas arah Mata Angin yang tidak dijelaskan batas-batasnya seperti yang dilakukan tergugat III. Padahal, yang idial dalam penilaian harga tanah itu adalah bidang perbidang tanah, kata Hartono.
Penilaian aset dengan sistim 'pendekatan pasar' yang diterbitkan tergugat III, seharusnya hanya menjadi dasar untuk bermusyawarah dan mufakat, bukan untuk dijadikan harga final terhadap para pemilik tanah. Tindakan seperti ini bertentangan dengan Perpres No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang intinya adalah, kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti rugi dalam pembebasan tanah.
Kenyataan dalam kasus ini para penggugat belum pernah memyepakati atau menandatangani kesepakatan masalah nilai ganti rugi tanah yang tertuang dalam berita acara kesepakatan.
Dengan adanya laporan final yang diterbitkan oleh tergugat III yang kemudian digunakan tergugat I dan tergugat II, adalah merupakan bukti yang kuat kalau para tergugat telah melakukan pebuatan melawan hukum (PMH) karena dekumen tersebut telah digunakan para tergugat untuk menyengsarakan dan merugikan para penggugat. Dikatakan demikian karena, menentukan harga tanah yang sangat minim dan jauh lebih murah. Dan yang lebih konyol lagi konon, uang ganti rugi para penggugat saat ini sudah dikonsinyasikan atau dititipkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Hartono, rencana pemberian ganti rugi oleh pemerintah DKI Jakarta dalam hal ini para tergugat kepada para pengugat yang terkena proyek MRT, seyogyanya dapat meningkatkan taraf kehidupannya. Dengan demikian, ganti rugi yang layak yaitu Rp 150 juta per-M2 sesuai harga pasaran tanah diwilayah ini untuk sekarang.
Petitum dalam gugatan ini kuasa hukum para penggugat memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini antara lain untuk ; mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya.
Menyatakan surat Laporan Final Jasa Konsultasi Apraisal Bidang Jalan dan Jembatan Pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2014 Ref. 0282310014 tgl. 23 Oktober 2014 , yang diterbitkan tergugat III cacat hukum dan tidak mengikat nilai ganti kerugian terhadap tanah-tanah dan bangunan para penggugat.
Menghukum dan memerintahkan kepada para tergugat untuk membayar ganti rugi tanah dan bangunan kepada para penggugat sebesar Rp 150 juta per M2-nya. Dengan demikian, untuk penggugat Dheeraj Hohan Aswani yang tanahnya seluas 219 M2 x Rp 150 juta, ditambah Rp 5 milyar sebagai kerugian moril. Begitu juga dengan Ny. Rashmee Mahesh Lalmalani, tanahnya seluas 492 M2 x Rp 150 juta, ditambah Rp 5 milyar sebagai ganti rugi moril.
Putusan ini dimohon bersifat sertamerta, dapat dijalankan terlebih dahulu walaun ada upaya hukum, verzet, banding atau kasasi dari para tergugat . Bila hakim berpendapat lain dimohon putusan yang seadil-adilnya, kata Hartono Tanuwidjaja SH,MSi. (SUR)
Dalam surat gugat yang bernomor register; 493/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Pst, tertanggal 15 September tersebut, Hartono memdapatkan kuasa dari Dheeraj Mohan Asnawi dan Ny. Rashmee Mahesh Lalmalani, warga Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.
Dikatakan , Gubernur DKI Jakarta sebagai tergugat I, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta tergugat II, serta Pimpinan Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP) Anas Karim Rivai & Rekan sebagai tergugat III. Para tergugat dinilai telah melakulan perbuatan melawan hukum.
Dalam posita gugatannya disebutkan, para penggugat adalah memiliki tamah di Kelurahan Gandaria Selatan ,Jakarta Selatan, tepatnya di Jalan Fatmawati. Tanah- tanah mereka terkena proyek MRT Lebakbulus - Bundaran Hotel Indonesia, dihargai seenaknya saja oleh pemerintahan DKI Jakarta, yaitu anatara Rp 25 juta sampai Rp 50 juta saja per- M2-nya. Dan penetapan harga tanah ini tanpa adanya kesepakatan dan musyawarah terlebih dahulu dengan para pemilik tanah tersebut. Karuan saja mereka menolak rarena , tidak seusai dengan Standar Penilaian Indonesia (SPI) , Perpres No.71 tahun 2012, dan Undang Undang No. 2 tahun 2012, dimana telah ditekankan bahwa dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum harus dilandasi dengan kesepakatan dan musyawarah serta tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan. Namun para tergugat telah mengabaikan semuanya ini.
Belakangan baru diketahui tindakan tergugat I dan II ini dilandasi adanya surat hasil penelitian aset yang diterbitkan oleh tergugat III berupa; Laporan Final Jasa Konsultasi Apprasial bidang jalan dan jembatan pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta tahun anggaran 2014 Ref.02823 10014 APPAKR tanggal 23 Oktober 2014 , yang isinya bersifat umum, general dan global, bahkan berdasarkan batas arah Mata Angin yang tidak dijelaskan batas-batasnya seperti yang dilakukan tergugat III. Padahal, yang idial dalam penilaian harga tanah itu adalah bidang perbidang tanah, kata Hartono.
Penilaian aset dengan sistim 'pendekatan pasar' yang diterbitkan tergugat III, seharusnya hanya menjadi dasar untuk bermusyawarah dan mufakat, bukan untuk dijadikan harga final terhadap para pemilik tanah. Tindakan seperti ini bertentangan dengan Perpres No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang intinya adalah, kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti rugi dalam pembebasan tanah.
Kenyataan dalam kasus ini para penggugat belum pernah memyepakati atau menandatangani kesepakatan masalah nilai ganti rugi tanah yang tertuang dalam berita acara kesepakatan.
Dengan adanya laporan final yang diterbitkan oleh tergugat III yang kemudian digunakan tergugat I dan tergugat II, adalah merupakan bukti yang kuat kalau para tergugat telah melakukan pebuatan melawan hukum (PMH) karena dekumen tersebut telah digunakan para tergugat untuk menyengsarakan dan merugikan para penggugat. Dikatakan demikian karena, menentukan harga tanah yang sangat minim dan jauh lebih murah. Dan yang lebih konyol lagi konon, uang ganti rugi para penggugat saat ini sudah dikonsinyasikan atau dititipkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Menurut Hartono, rencana pemberian ganti rugi oleh pemerintah DKI Jakarta dalam hal ini para tergugat kepada para pengugat yang terkena proyek MRT, seyogyanya dapat meningkatkan taraf kehidupannya. Dengan demikian, ganti rugi yang layak yaitu Rp 150 juta per-M2 sesuai harga pasaran tanah diwilayah ini untuk sekarang.
Petitum dalam gugatan ini kuasa hukum para penggugat memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini antara lain untuk ; mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya.
Menyatakan surat Laporan Final Jasa Konsultasi Apraisal Bidang Jalan dan Jembatan Pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2014 Ref. 0282310014 tgl. 23 Oktober 2014 , yang diterbitkan tergugat III cacat hukum dan tidak mengikat nilai ganti kerugian terhadap tanah-tanah dan bangunan para penggugat.
Menghukum dan memerintahkan kepada para tergugat untuk membayar ganti rugi tanah dan bangunan kepada para penggugat sebesar Rp 150 juta per M2-nya. Dengan demikian, untuk penggugat Dheeraj Hohan Aswani yang tanahnya seluas 219 M2 x Rp 150 juta, ditambah Rp 5 milyar sebagai kerugian moril. Begitu juga dengan Ny. Rashmee Mahesh Lalmalani, tanahnya seluas 492 M2 x Rp 150 juta, ditambah Rp 5 milyar sebagai ganti rugi moril.
Putusan ini dimohon bersifat sertamerta, dapat dijalankan terlebih dahulu walaun ada upaya hukum, verzet, banding atau kasasi dari para tergugat . Bila hakim berpendapat lain dimohon putusan yang seadil-adilnya, kata Hartono Tanuwidjaja SH,MSi. (SUR)
No comments