Tersangka Kasus vaksin Palsu 23 Orang, Termasuk Produsen dan 5 Dokter
Para pihak terkait dalam penanganan faksin palsu. |
Jakarta, BERITA-ONE.COM.Dari
hasil proses penyelidikan yang diawali dengan pengumpulan dan analisis data,
Markas Besar (Mabes) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
menemukan peristiwa pidana peredaran, penggunaan dan pembuatan vaksin palsu.
Dalam kasus ini, sebanyak 23 orang telah ditemukan bukti permulaan untuk
ditetapkan sebagai tersangka.
“Perkembangan sidik vaksin ditemukan beberapa
tersangka yakni 6 produsen, 9 distributor, 2 pengumpul bekas botol vaksin, 1
pencetak label dan bungkus, serta 5 orang dokter,” kata Direktur Tindak Pidana
Ekonomi dan Khusus Mabes Polri, Brigjen Pol Agung Setya, dalam acara
Forum Tematik Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat (Bakohumas) di Wisma
Bhayangkari, Kebayoran, Jakarta, Selasa (30/8).
Adapun vaksin yang dipalsukan, menurut Agung,
berdasarkan data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), di antaranya adalah
Tripacel, Pediacel, Engerix B, Euvax B, Tuberculin PPD RT 23, Havric Junior.
Mengenai rumah sakit yang terlibat dalam
peredaran vaksin palsu itu, Agung menjelaskan, sebelum diumumkan ke masyarakan,
pihak kepolisian melalui Polda Metro Jaya telah mempersiapkan kemungkinan
adanya kemarahan dari orangtua anak-anak yang pernah diberikan vaksin di rumah
sakit tersebut.
Namun Agung menegaskan, penegakan hukum dalam
kasus peredaran vaksin palsu itu hanyalah, sekian solusi, karena solusi
yang lebih jauh adalah aspek pencegahan.
Perlindungan Pemerintah
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan
Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Drg. Oscar Primadi menyampaikan,
bahwa imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat yang paling cost
effective. “Imunisasi memiliki kurun waktu yang bisa mencapai usia bayi 2
tahun,” ujarnya.
Adapun alur distribusi vaksin, menurut Oscar,
dimulai dari Bio Farma yang kemudian dibawa ke Kemenkes, provinsi, kabupaten,
ke RS/UP. Oscar menegaskan, saat pengiriman vaksin selalu berada di lemari
pendingin.
Mengenai imunisasi ulang kepada penerima vaksin
palsu, Oscar menjelaskan, dilakukan kepada anak-anak, dan diberikan gratis oleh
pemerintah. Namun sebelum dilakukan imunisasi ulang, menurut Oscar, dilaksanakan
verifikasi data anak terlebih dahulu. Sejauh ini, lanjut Oscar, sebanyak 1.500
anak telah terverifikasi mendapatkan vaksin palsu.
“Rencana tindak lanjut salah satunya yakni
perbaikan regulasi dan pembentukan tim terpadu dari Kemenkes dan BPOM,” pungkas
Oscar.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
Tulus Abadi yang hadir dalam kesempatan itu, berharap agar dalam penanganan
kasus vaksin palsu tidak hanya berhenti di sini, tapi juga dibongkar lebih
lanjut kepada peredaran obat.
“Sekarang ini juga banyak peredaran obat melalui
online atau e-commerce yang sulit untuk dipantau keresmiannya,” tambah Tulus
seraya berharap adanya pengawasan internal yang dilakukan oleh BPOM dan
Kemenkes untuk mengawasi rumah sakit.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, M.A, menyampaikan bahwa orangtua korban vaksin palsu
datang untuk mendapatkan advokasi ke rumah sakit.
“Berdasarkan UU 36/2009 tentang Kesehatan pasal
153 Pemerintah menjamin ketersediaan imunisasi yang aman dan terjangkau,”
tambah Asrorun.
Vaksin dan obat palsu berbahaya, menurut Asrorun,
faktor utamanya adalah karena anak masih dalam posisi rentan.
Dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr Dyah
Silviaty, dr.SpA, MH.Kes menyampaikan imunisasi yang direkomendasikan oleh IDAI
yakni usia 0 sampai 18 tahun.
“Vaksin palsu tidak memiliki proteksi atau
perlindungan terhadap virus tertentu. Vaksin palsu isinya merupakan campuran
cairan infus (NaCl),” lanjut Dyah.
Harus Sigap
Sebelumnya Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi
Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rosalina
Niken Widyastuti dalam sambutannya mengatakan, bahwa Humas Pemerintah harus
hadir untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Berkaitan dengan vaksin palsu, menurut Niken,
humas pemerintah harus sigap, merespons secara cepat, akurat, dan jelas. “Humas
Pemerintah harus hadir untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui
media mainstream dan media sosial,” ujarnya.
Saat ada masalah, lanjut Dirjen IKP, harus
disampaikan secara terus-menerus solusi dari masyarakat serta menjalin
koordinasi dengan instansi kementerian/lembaga.
Saat ini, menurut Niken, Kominfo sedang
menyiapkan Jaringan Pemberitaan Pemerintah (JPP). “Informasi yang disampaikan
lewat JPP ini nantinya bersifat defensif maupun ekspansif. Klarifikasi secara
cepat antara kementerian/lembaga yang kemudian dibuat narasi untuk
meng-counter,” tambah Niken.
Humas Sesakab dalam siarannya mengatakan,
turut hadir dalam acara Bakohumas kali ini Direktur Kemitraan Komunikasi
Kominfo Dedet Surya Nandika dan Asisten Deputi Bidang Hubungan Kemasyarakatan
dan Protokol Setkab Al Furkon Setiawan serta seluruh perwakilan humas
kementerian/lembaga.(SUR).
No comments